TEMPO.CO, Taipei - Pengaruh media sosial dan penggunaan artificial intelligence (AI) dalam membentuk opini publik dan menyebarkan disinformasi selama pemilihan umum di beberapa negara di Asia menjadi salah satu topik bahasan dalam Asian Journalism Forum 2024 di Taipei, Taiwan, 22-23 Juni 2024. Dalam konferensi tahunan yang kali ini bertema “Journalism in the Historical Election Years” beberapa pembicara berpandangan bahwa tantangan jurnalisme untuk mempengaruhi opini publik semakin berat karena generasi muda dan para pemilih kini lebih sering menonton media sosial dibanding membaca berita di media massa.
Pembicara dari Indonesia, CEO Tempo Digital Wahyu Dhyatmika, menunjukkan contoh penggunaan AI untuk memproduksi materi kampanye calon Presiden Prabowo Subianto dalam pemilihan umum Indonesia pada Februari lalu.
Menurut Wahyu, lewat video dan foto yang dibuat dengan AI dan disebar melalui berbagai media sosial, Prabowo digambarkan sebagai sosok gemoy, kakek gendut yang imut dan lucu, untuk menarik simpati dan dukungan pemilih.
“Ini sosok yang berbeda dengan realitas kehidupan sehari-hari Prabowo yang mudah marah. Prabowo berhasil mengubah citra dirinya dari seorang jenderal militer yang dipecat karena tuduhan pelanggaran hak asasi manusia pada masa akhir kekuasaan Soeharto dan dia tidak pernah diadili di pengadilan,” kata Wahyu, Minggu, 23 Juni 2024.
Metode kampanye itu diperkirakan berkontribusi besar dalam memenangkan Prabowo dan pasangannya, Gibran Rakabuming Raka, anak Presiden Joko Widodo, dengan angka telak 58,6 persen melawan dua pasang calon lainnya.
Penyebaran Mitos Politik lewat Medsos dan AI
Asian Journalism Forum diselenggarakan oleh The Foundation for Excellent Journalism Award (FEJA) Taiwan, bekerja sama dengan Westminster Foundation for Democracy dan The Graduate Institute of Journalism National Taiwan University (NTU). Forum yang digelar tahunan kali ini di International Conference Hall, Tsai Lecture Hall, College of Law, NTU, menghadirkan 16 pembicara dalam enam sesion yang dihadiri para jurnalis, akademisi, dan mahasiswa.
Para pembicara adalah jurnalis dan akademisi dari Indonesia, Filipina, Thailand, Jepang, Korea Selatan, Taiwan, Cina, India, dan Inggris. Mereka menyoroti jurnalisme, media sosial, AI, dan kampanye pemilu dan politik di masing-masing negara. Media sosial dan AI memang menghadirkan peluang dan risiko positif dan negatif.
Penggunaan media sosial dan AI untuk merusak kualitas demokrasi juga terjadi dalam pemilu presiden di Filipina pada 2022. Jurnalis investigasi Rappler Filipina, Lian Buan, menjelaskan beberapa mitos politik yang disebarkan secara masif melalui media sosial oleh tim kampanye dan pendukung calon Presiden Ferdinand “Bongbong” Marcos Jr. Salah satu mitos yang terkenal adalah masa pemerintahan di bawah kekuasaan diktator dan korup Presiden Ferdinand Marcos (1965-1986), ayah Bongbong, digambarkan sebagai masa emas.
“Mitos lainnya, Bongbong digambarkan sebagai pemimpin pemersatu yang dibutuhkan Filipina pada saat masyarakat terpecah belah dan terpolarisasi,” kata Lian. Marcos Jr., yang menang telak 58,7 persen, mendapatkan manfaat terbesar dari informasi-informasi palsu tersebut.