TEMPO.CO, Jakarta - Kepala Badan Antariksa Iran (ISA), Hasan Salarieh, pada Sabtu, 23 Juni 2024, mengumumkan rencana peluncuran dua satelit pada Juli mendatang. Salarieh mengatakan kepada kantor berita Iran, IRNA, bahwa kompatibilitas dan pengujian bersama terhadap satelit dan peluncurnya saat ini sedang berlangsung. Namun, ia memperingatkan bahwa pengujian teknis semacam itu sangat “sensitif” dan mungkin menyebabkan penundaan peluncuran karena masalah teknis yang tidak terduga.
Salarieh mengungkapkan bahwa sekitar 30 satelit saat ini sedang dalam tahap desain dan pengembangan. Proyek semacam ini, kata dia, biasanya memerlukan jangka waktu sekitar dua tahun atau lebih. Di antara satelit yang sedang dikerjakan adalah Nahid-3, Pars-3, dua satelit radar, Pars-2, serta versi Pars-1 yang ditingkatkan. Salarieh yakin bahwa satelit jenis Pars-2 dan Pars-1 yang ditingkatkan siap diluncurkan pada tahun ini.
Salarieh juga mengumumkan bahwa proyek satelit radar pertama Iran akan selesai tahun depan. Selain itu, dia mengatakan bahwa model uji proyek sistem satelit pertama Iran itu diberi nama Qasim Soleimani, yang mengacu pada nama Komandan Pasukan Elite Al-Quds Korps Garda Revolusi Iran yang tewas dalam serangan drone Amerika Serikat pada 3 Januari 2020.
Pada April 2024 lalu, Salarieh telah mengumumkan rencana ISA untuk meluncurkan 5-7 satelit ke orbit dalam 12 bulan ke depan. Ini di luar rencana Korps Garda Revolusi Iran yang akan meluncurkan juga satelitnya sendiri. Salarieh menyatakan, sebagian peluncuran akan dilakukan di Bandar Antariksa Chabahar, sementara dua satelit lain akan diluncurkan dari luar Iran. Menurutnya, satelit-satelit itu terutama berfungsi untuk menangani telekomunikasi, pengukuran, dan riset.
Iran sedang serius mengembangkan teknologi peluncuran satelitnya. Menurut IRNA, ISA berhasil meluncurkan satelit riset Mahda, Keyhan-2, dan Hatef-1 dengan roket Simorgh pada 28 Januari 2024. Sepekan sebelumnya, ISA juga mengumumkan telah berhasil meluncurkan Soraya, satelit buatan Iran, ke orbit pada ketinggian 750 kilometer dari permukaan bumi.
Iran menyatakan bahwa peluncuran satelit ini untuk kepentingan telekomunikasi dan riset. Tetapi, negara-negara Barat selalu khawatir teknologi itu akan dipakai untuk kepentingan militer, terutama membawa hulu ledak nuklir, yang akan meningkatkan kemampuan rudal nuklir Iran ke tingkat antar-benua.
Menurut NPR, jaringan media nirlaba Amerika, penilaian ancaman global tahun 2023 yang dilakukan komunitas intelijen Amerika mengatakan bahwa pengembangan kendaraan peluncuran satelit “memperpendek jangka waktu” bagi Iran untuk mengembangkan rudal balistik antarbenua karena negara tersebut menggunakan teknologi serupa. Laporan tersebut secara khusus menyebut Simorgh sebagai roket yang dapat digunakan secara ganda untuk kepentingan tersebut.
Amerika mengatakan bahwa peluncuran satelit Iran pada Januari 2024 itu melanggar resolusi Dewan Keamanan PBB dan meminta Teheran untuk tidak melakukan aktivitas yang melibatkan rudal balistik yang mampu menghasilkan senjata nuklir. Sanksi PBB mengenai program rudal balistik Iran telah berakhir pada Oktober 2023. Prancis, Jerman, dan Inggris juga mengecam peluncuran satelit Iran itu.
Program nuklir Iran dimulai pada 1950-an dengan dukungan Amerika Serikat di bawah program Atom untuk Perdamaian. Pada 1970, Iran meratifikasi Traktat Perlucutan Senjata Nuklir (NPT), yang membuat aktivitas nuklir negeri itu terbuka untuk diawasi oleh Badan Energi Atom Internasional (IAEA). Namun, setelah Revolusi Islam Iran pada 1979, hubungan Iran dan Amerika putus.
Sejak itu, Iran dituduh diam-diam mengembangkan senjata nuklir. Pemerintah Iran membantah tuduhan itu dan menyatakan bahwa pengembangan nuklirnya untuk tujuan damai, termasuk memenuhi kebutuhan energinya. Selain itu, ulama Iran telah mengeluarkan fatwa yang mengharamkan senjata nuklir.
Pilihan editor: