Kasus Palestina di ICJ
Di tahun 2024, Sebutinde sekali lagi menjadi berita utama, kali ini karena menjadi satu-satunya hakim yang menolak semua tindakan yang diminta oleh Afrika Selatan dalam kasus genosida terhadap Israel.
Dalam pendapat yang berbeda, Sebutinde menyatakan sebagai berikut:
"Dalam pendapat berbeda yang saya hormati, perselisihan antara Negara Israel dan rakyat Palestina pada dasarnya dan secara historis adalah perselisihan politik."
"Ini bukan sengketa hukum yang rentan terhadap penyelesaian yudisial oleh Pengadilan," tambahnya.
Ia juga mengatakan bahwa Afrika Selatan tidak menunjukkan bahwa tindakan yang dituduhkan kepada Israel "dilakukan dengan niat genosida yang diperlukan, dan oleh karena itu, tindakan tersebut gagal dimasukkan ke dalam cakupan Konvensi Genosida".
Para ahli berpendapat bahwa Sebutinde gagal untuk melakukan penilaian yang menyeluruh terhadap situasi tersebut.
"Saya pikir apa yang salah dari perbedaan pendapat ini adalah bahwa genosida bukanlah perselisihan politik, melainkan masalah hukum. Baik Afrika Selatan maupun Israel menandatangani Konvensi Genosida pada 1948 dan menerima yurisdiksi atas pelanggaran Konvensi Genosida dan kegagalan untuk mencegah genosida," Mark Kersten, asisten profesor di University of the Fraser Valley yang berfokus pada hukum hak asasi manusia, mengatakan kepada Al Jazeera.
"Anda tidak bisa begitu saja mengatakan bahwa ini adalah sesuatu yang berkaitan dengan sejarah, ini adalah sesuatu yang berkaitan dengan politik. Tentu saja, sejarah dan politik berperan," tambahnya.
Duta Besar Uganda untuk PBB juga mengungkapkan pendapat yang berbeda.
"Putusan Hakim Sebutinde di Mahkamah Internasional tidak mewakili posisi Pemerintah Uganda atas situasi di Palestina," katanya dalam sebuah pernyataan di Twitter.
Para hakim di pengadilan tertinggi PBB, Jumat, 24 Mei 2024, memutuskan atas permintaan Afrika Selatan untuk memerintahkan Israel menghentikan serangan Rafah dan menarik diri dari Gaza, yang merupakan bagian dari kasus yang lebih luas yang menuduh Israel melakukan genosida.
Sekali lagi, Sebutinde memberikan suara menentang terhadap putusan itu. Ia berpendapat operasi militer Israel yang sedang berlangsung di Rafah adalah bagian dari konflik yang lebih luas yang diprakarsai oleh Hamas pada 7 Oktober 2023, ketika Hamas menyerang wilayah Israel, membunuh warga dan menculik yang lainnya. Menurutnya, permohonan Afrika Selatan saat ini yang meminta Mahkamah untuk menunjukkan langkah-langkah sementara yang baru atau memodifikasi yang sudah ada, merupakan yang keempat dalam beberapa bulan terakhir.
“Situasi di Rafah bukan merupakan ‘fakta baru’ yang mengharuskan memodifikasi langkah-langkah yang sudah ada. Untuk menjaga integritas yudisialnya, Pengadilan harus menghindari bereaksi terhadap setiap perubahan dalam konflik dan menahan diri untuk tidak mengatur secara mikro permusuhan di Jalur Gaza, termasuk Rafah,” katanya dalam dokumen dissenting opinion yang diterbitkan situs resmi ICJ.
AL JAZEERA | REUTERS
Pilihan Editor: 'Pembantaian Keji' Israel di kamp Pengungsi Rafah Dikecam Dunia