TEMPO.CO, Jakarta - Dewan Perwakilan Rakyat AS dengan suara besar meloloskan rancangan undang-undang yang akan memperluas definisi anti-Semitisme di tingkat federal, meskipun ditentang oleh kelompok-kelompok kebebasan sipil.
RUU tersebut lolos di DPR AS, Rabu, 1 Mei 2024, dengan selisih suara 320 banding 91, dan sebagian besar dilihat sebagai reaksi terhadap protes antiperang yang sedang berlangsung di kampus-kampus universitas di Amerika. Sekarang RUU tersebut diserahkan ke Senat untuk dipertimbangkan.
Jika menjadi undang-undang, RUU tersebut akan mengkodifikasi definisi anti-Semitisme yang dibuat oleh International Holocaust Remembrance Alliance (IHRA) dalam Title VI dari Civil Rights Act of 1964.
Apa definisi anti-Semitisme baru?
Definisi kerja IHRA tentang anti-Semitisme adalah “persepsi tertentu tentang orang Yahudi, yang dapat diekspresikan sebagai kebencian terhadap orang Yahudi. Manifestasi retoris dan fisik dari anti-Semitisme ditujukan kepada individu Yahudi atau non-Yahudi dan/atau properti mereka, kepada lembaga-lembaga komunitas Yahudi dan fasilitas-fasilitas keagamaan”.
Menurut IHRA, definisi tersebut juga mencakup “penargetan terhadap negara Israel, yang dipahami sebagai kolektivitas Yahudi”.
Kelompok ini juga menyertakan contoh-contoh tertentu dalam definisinya untuk menggambarkan anti-Semitisme. Mengatakan, misalnya, bahwa “keberadaan Negara Israel adalah upaya rasis” akan dianggap sebagai anti-Semit dalam definisinya. Definisi ini juga melarang perbandingan antara “kebijakan Israel kontemporer” dan “kebijakan Nazi”.
Namun, IHRA menetapkan bahwa “kritik terhadap Israel yang serupa dengan kritik yang dilontarkan terhadap negara lain tidak dapat dianggap sebagai anti-Semit”.
Apa yang dikritik bipartisan?
Namun, kelompok-kelompok hak asasi manusia telah menyuarakan keprihatinan bahwa definisi tersebut mencampuradukkan kritik terhadap negara Israel dan Zionisme dengan anti-Semitisme.
Dalam sebuah surat yang dikirimkan kepada para anggota parlemen pada Jumat, American Civil Liberties Union (ACLU) mendesak para anggota DPR untuk memberikan suara menentang legislasi tersebut, dengan mengatakan bahwa undang-undang federal telah melarang diskriminasi dan pelecehan anti-Semit.
Oleh karena itu, RUU tersebut “tidak diperlukan untuk melindungi dari diskriminasi anti-Semit”, demikian isi surat tersebut.
“Sebaliknya, RUU ini kemungkinan akan membungkam kebebasan berbicara para mahasiswa di kampus-kampus dengan menyamakan kritik terhadap pemerintah Israel dengan anti-Semitisme.”
Kekhawatiran tersebut juga bergema di dalam Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Dalam sebuah dengar pendapat pada Selasa, Perwakilan Jerry Nadler, dari Partai Demokrat, mengatakan bahwa cakupan definisi tersebut terlalu luas.
“Dengan memasukkan pidato politik murni tentang Israel ke dalam cakupan Judul VI, RUU ini menyapu terlalu luas,” katanya.
Perwakilan Thomas Massie, seorang anggota Partai Republik, juga mengkritik RUU tersebut dalam sebuah unggahan di platform media sosial X, mencatat bahwa RUU tersebut hanya merujuk pada definisi IHRA, tanpa memberikan bahasa yang tepat atau menyatakan dengan jelas bagian mana yang akan diabadikan menjadi undang-undang.
“Untuk menemukan definisi anti-Semitisme yang diadopsi secara hukum, kita harus pergi ke [situs web IHRA],” tulisnya.
“Tidak hanya definisi yang tercantum di sana, tetapi orang juga dapat menemukan contoh-contoh spesifik dari ujaran anti-Semit. Apakah contoh-contoh itu juga dijadikan bagian dari hukum?”