TEMPO.CO, Jakarta - Ketika pasukan Israel bergerak lebih jauh ke kota-kota padat Gaza di bawah pengeboman yang intensif, warga sipil Palestina yang terkepung bangun setiap pagi untuk mengambil jenazah dari reruntuhan serangan udara dan memulai pencarian makanan dan air bersih setiap hari.
Di bagian utara wilayah kantong yang kecil dan padat itu, terputus dari selatan akibat serangan darat Israel dan tidak ada jalur akses pasokan, serangan udara telah menyebabkan kehancuran di kamp-kamp pengungsi, menargetkan ambulans, dan menghantam tempat penampungan di sekolah-sekolah dalam beberapa hari terakhir.
Tujuan militer Israel adalah untuk menghancurkan kelompok militan Palestina Hamas setelah para pejuangnya mengamuk di kota-kota Israel pada 7 Oktober, pergi dari rumah ke rumah ketika mereka membunuh 1.400 orang dan menculik 240 lainnya.
Sejak itu, serangan udara dan artileri Israel di Gaza telah menewaskan 9.488 orang, kata kementerian kesehatan di Gaza yang dikuasai Hamas. Israel telah memutus pasokan listrik dan bahan bakar, sementara hanya mengizinkan masuknya sedikit makanan dan obat-obatan.
Israel menuduh Hamas menggunakan infrastruktur sipil termasuk rumah sakit dan ambulans untuk menyembunyikan peluncur roket dan pusat komandonya dan mengatakan bahwa kelompok tersebut memiliki persediaan makanan dan bahan bakar yang cukup untuk memenuhi kebutuhan penduduk. Hamas membantah semua itu.
“Bayangkan Anda berada di penjara dan penjaga penjara membidik satu demi satu tahanan dari menara tinggi, membunuh mereka satu per satu,” kata Ismail, 43, seorang akuntan di Kota Gaza menggambarkan bagaimana perasaannya di bawah pengeboman tersebut.
“Ayah saya hampir terkena serangan jantung tadi malam ketika serangan rudal mengguncang gedung. Kami merasa yang terkena adalah kami,” kata Ismail, yang tidak menyebutkan namanya karena takut akan pembalasan Israel.
Ratusan pemegang paspor asing dan beberapa orang yang terluka parah dapat meninggalkan Gaza melalui penyeberangan Rafah dari selatan wilayah kantong tersebut ke Mesir selama seminggu terakhir. Namun, penyeberangan tersebut ditutup pada Sabtu dan belum dibuka kembali, sehingga tidak ada jalan keluar bagi warga sipil.
Ashraf al-Qidra, juru bicara kementerian kesehatan Gaza, menyerukan perjalanan yang aman bagi 400 orang yang terluka parah untuk meninggalkan Gaza melalui Rafah dan mengatakan rumah sakit hampir kehabisan persediaan bahan bakar terakhir mereka.