TEMPO.CO, Jakarta - Pertimbangan dan pengesahan salah satu undang-undang anti-gay yang paling keras di dunia oleh pemerintah Uganda telah memicu gelombang pelecehan terhadap kelompok LGBTQ, yang sebagian besar dilakukan oleh individu, kata kelompok hak asasi manusia pada Kamis, 28 September 2023.
Undang-Undang Anti-Homoseksualitas (AHA), yang disahkan pada Mei, menetapkan hukuman mati untuk tindakan sesama jenis tertentu. Setidaknya enam orang telah didakwa berdasarkan undang-undang tersebut, termasuk dua orang yang dituduh melakukan pelanggaran berat berupa "homoseksualitas yang diperparah".
Namun laporan tersebut, yang ditulis oleh komite koalisi Convening for Equality (CFE), mengatakan pelaku utama pelanggaran hak asasi manusia terhadap kelompok LGBTQ tahun ini – termasuk penyiksaan, pemerkosaan, penangkapan dan penggusuran – adalah individu.
Mereka mengatakan hal ini menunjukkan bahwa undang-undang tersebut dan retorika homofobik yang merajalela sebelum disahkannya undang-undang tersebut pada awal tahun telah membuat masyarakat teradikalisasi terhadap komunitas LGBTQ.
Misalnya, laporan tersebut mengatakan bahwa penangkapan yang dibantu oleh massa telah menjadi semakin umum “karena AHA telah menempatkan kelompok LGBTIQ+ sebagai orang yang berkepentingan, dan masyarakat tampaknya menjadi pihak yang mendukung penegakan perburuan penyihir.”
Antara 1 Januari dan 31 Agustus, para peneliti mendokumentasikan 306 pelanggaran hak asasi manusia berdasarkan orientasi seksual dan identitas gender korban, dengan 25 kasus di antaranya adalah aktor negara.
Sebaliknya, laporan aktivis hak asasi manusia pada 2020 dan 2021 menemukan bahwa aktor negara bertanggung jawab atas hampir 70% pelanggaran hak asasi manusia yang didokumentasikan pada tahun-tahun tersebut. Laporan tersebut tidak memberikan angka perbandingan untuk 2022.
Menteri Penerangan Uganda Chris Baryomunsi tidak dapat dihubungi untuk dimintai komentar.
Penulis laporan tersebut mengatakan bahwa mereka telah mendokumentasikan 18 kejadian di mana polisi melakukan pemeriksaan anal paksa terhadap orang-orang yang ditahan untuk mengumpulkan “bukti” homoseksualitas.
“Bertahan dari pemeriksaan anal paksa di polisi adalah sesuatu yang akan Anda ingat selamanya,” kata salah satu korban selamat.
Juru bicara kepolisian Fred Enanga mengatakan dia belum membaca laporan tersebut dan tidak bisa berkomentar.
Laporan tersebut memperingatkan bahwa statistiknya tidak dapat dianggap lengkap mengingat kesulitan yang dihadapi kelompok LGBTQ dalam melaporkan pelanggaran.
Iklim ketakutan dan intimidasi yang ditimbulkan oleh undang-undang tersebut juga menyebabkan meningkatnya kasus kondisi kesehatan mental di komunitas LGBTQ, termasuk pikiran untuk bunuh diri, katanya.
REUTERS
Pilihan Editor: Prajurit AS Travis King Tiba di Texas Setelah Pengusiran dari Korea Utara