TEMPO.CO, Jakarta - Sekitar satu juta lebih warganet mendukung petisi 'Save Mariupol'. Sampai Rabu malam, 11 April 2022, petisi itu sudah ditandatangani sebanyak 1.243.443.
Petisi ini dimulai oleh seorang aktivis sekaligus koordinator Pusat Sukarelawan Azov asal Ukraina, Kateryna Prokhorenko, pada Jumat, 6 Mei 2022. Lewat petisi itu, Prokhorenko meminta PBB untuk mengevakuasi penduduk yang tersisa di Mariupol.
Petisi Prokhorenko juga menuntut segera diterbitkannya ketentuan gencatan senjata demi mengevakuasi warga sipil dan militer di Mariupol lewat jalur laut ke wilayah Ukraina atau ke negara ketiga (selain Rusia) yang lebih aman.
“Penduduk sipil, serta personel militer yang membela Mariupol, bertahan dalam kondisi yang tidak manusiawi, sejumlah pemimpin dunia telah mengakui tindakan negara agresor sebagai genosida rakyat Ukraina,” bunyi petisi tersebut, dikutip dari siaran pers change.org.
Sebelumnya, Ukraina memperkirakan ada puluhan ribu warga sipil tewas di Mariupol, kota yang berlokasi di wilayah Donetsk Oblast. Sejak agresi Rusia yang dimulai pada 24 Februari, kota itu jadi medan pertempuran.
PBB dan Palang Merah mengatakan jumlah korban sipil yang tewas masih belum diketahui, namun diperkirakan sudah mencapai ribuan orang.
Sejumlah korban telah dimakamkan dalam kuburan massal, yang dipindahkan dari jalan-jalan oleh pasukan Rusia menggunakan truk kremasi untuk membakar mayat.
Rusia membantah telah melakukan pembunuhan terhadap warga sipil dan menyebut operasi militer dilakukan untuk menyelamatkan keturunan Rusia dari rezim Kyiv.
Rusia mengklaim sudah menguasai Mariupol, tapi masih ada warga Ukraina yang tersisa.
PBB, pada pekan lalu telah membantu mengevakuasi sekitar 500 lebih warga Ukraina yang berlindung di pabrik Azovstal, Mariupol. Usaha pengungsian beberapa kali gagal, dengan kedua pihak saling menyalahkan.
Dengan petisi ini, Prokhorenko ingin menjangkau sebanyak mungkin orang untuk menyebarkan berita soal Mariupol. Setelah adanya petisi ini, pihaknya sedang mempersiapkan seruan kolektif ke PBB berdasarkan itu.
Petisi Prokhorenko sendiri telah menjadi salah satu petisi yang tumbuh paling cepat di platform sejak dimulainya konflik militer di Ukraina.
“Ide untuk memulai petisi muncul dengan sangat sederhana. Sampai hari ini, banyak teman saya tetap di Azovstal. Saya pribadi mengenal banyak istri orang Azov dengan baik, jadi kami hanya berpikir: apa lagi yang bisa kami lakukan untuk membantu?”, kata Prokhorenko.
Sementara itu, di Indonesia ada petisi yang menolak kedatangan Presiden Vladimir Putin Rusia ke Konferensi Tingkat Tinggi G20, Bali, November 2022. Petisi tersebut dimulai oleh sebuah gerakan solidaritas demokrasi daring Milk Tea Alliance Indonesia.