TEMPO.CO, Jakarta - Rencana Bangladesh dalam mengatasi krisis pengungsi etnis minoritas Rohingya akan terhenti setidaknya sampai awal tahun baru 2019. Diantara rencana itu adalah repatriasi dan relokasi yang kemungkinan akan ditinjau ulang.
Menurut Abul Kalam, Komisi repatriasi dan penanganan pengungsi, sebuah aturan baru sangat diperlukan saat ini, menyusul rencana repatriasi atau pemulangan pengungsi etnis minoritas Rohingya yang berlindung ke Bangladesh kembali ke Myanmar.
Baca: Pembantaian Etnis Rohingya, Tanda Militer Myanmar Masih Berkuasa
Gelombang pertama repatriasi sudah memulangkan 2.200 pengungsi Rohingya pada 15 November 2018. Namun rencana ini selanjutnya dihentikan di tengah-tengah gelombang protes di kamp-kamp pengungsi. Tak ada satu pun warga etnis Rohingya yang setuju kembali ke negara bagian Rakhine, Myanmar, jika tuntutan mereka bagi keadilan, status kewarganegaraan dan izin kembali ke desa-desa asal mereka, tidak dipenuhi.
Baca: Kisah Kejamnya Tentara Myanmar Membantai Etnis Rohingya
“Saya rasa tidak ada seorang pun etnis Rohingya yang setuju untuk dipulangkan tanpa dipenuhinya tuntutan itu,” kata Kalam, yang pada akhir pekan lalu menyerukan komunitas internasional agar menekan Myanmar supaya mau menerima tuntutan yang masuk akal dan bisa diterima ini.
Seorang pengungsi membawa poster saat melakukan aksi protes epatriasi atau pemulangan para pengungsi di kamp Unchiprang di Teknaf, Bangladesh, 15 November 2018. Para pengungsi Rohingya beralasan khawatir keselamatan jiwa raga mereka jika harus kembali ke Myanmar. REUTERS/Mohammad Ponir Hossain
Lebih dari 720 ribu etnis minoritas Rohingya di negara bagian Rakhine, melarikan diri dari sebuah pembantaian yang diduga dilakukan oleh militer Myanmar. Tindakan militer itu dipicu oleh sebuah serangan dilakukan oleh sekelompok etnis Rohingya yang dituding teroris terhadap pasukan penjaga perbatasan Myanmar.
Pada akhir Oktober 2018, Bangladesh dan Myanmar setuju untuk memulai langkah pemulangan pengungsi etnis Rohingya. Namun rencana ini ditentang oleh PBB dan kelompok-kelompok kemanusiaan lainnya karena mereka mengkhawatirkan keamanan suku Rohingya setibanya di Myanmar.