Presiden Filipina, Rodrigo Duterte menjawab sejumlah pertanyaan awak media saat mengunjungi lokasi ledakan bom di kota Davao, Filipina, 2 September 2016. Saat terjadinya serangan bom, Duterte tengah berada di kawasan tersebut. REUTERS
TEMPO.CO, Manila- Presiden Filipina, Rodrigo Duterte kembali diserang oleh lawan politiknya terkait perintah pembunuhan di luar hukum semasa menjabat sebagai Wali kota Davao City. Serangan itu dilakukan oleh seorang pensiunan polisi yang mengklaim pembunuhan di kota Davao dibuat atas perintah Duterte.
Arturo Lascanas, mantan anggota polisi yang menjadi salah satu pemimpin 'skuad pembunuh Davao' (DDS) , yang ditugaskan memberantas penjahat, mengatakan ia pernah membunuh penyiar radio yang mengkritik Duterte. Bahkan, Duterte dikatakan membayar uang kepada polisi agar melakukan pembunuhan.
"Dari semua pembunuhan yang kami lakukan di Kota Davao, dibayar oleh Wali kota Duterte. Kami mendapat 20 ribu peso hingga 100 ribu peso (Rp 5,3 juta - Rp 26,5 juta), tergantung pada status orang yang dibunuh," katanya dalam konferensi pers di Senat di Manila, pada Senin, 20 Februari 2017.
Pernyataan itu sekaligus memperkuat pengakuan Edgardo Matobato tahun lalu terkait perintah pembunuhan Duterte terhadap penjahat di Davao serta pembakaran terhadap sebuah masjid di kota itu.
Lascanas menjadi bagian dari DDS sejak 1993 saat melakukan pengeboman masjid sebagai pembalasan setelah pemberontak Muslim dituduh mengebom katedral Katolik Roma.
Lascanas juga mengatakan ia dan kelompoknya terlibat dalam pembunuhan seorang tersangka penculikan dan istrinya yang tengah hamil, anak muda, ayah mertua dan dua lainnya dengan persetujuan Duterte.
Target lainnya adalah penyiar radio Juni Pala yang dikenal sebagai pengkritik keras Duterte. Dia dibunuh pada tahun 2003 oleh kelompok bersenjata yang dibayar Duterte.
Menanggapi tuduhan itu, Sekretaris Komunikasi Presiden, Martin Andanar, mengatakan bahwa dakwaan Lascanas sebagai bagian drama politik berkepanjangan dan percobaan pembunuhan karakter Duterte oleh pengkritiknya.
Duterte sebelum ini, berulang kali membantah keterlibatannya dalam tindakan di luar hukum itu ketika menjadi Walikota Davao selama 22 tahun sampai akhir 2015.
Dia serta polisi juga menolak keberadaan tim pembunuh Davao dan menggambarkannya sebagai fiksi.
Kelompok hak asasi manusia telah mendokumentasikan sekitar 1.400 pembunuhan yang mencurigakan di Davao sejak awal 1990-an dan kritikus mengatakan perang berdarah terhadap narkoba Duterte sejak menjabat tujuh bulan lalu menggunakan metode yang serupa.
Lebih dari 7.700 orang telah tewas dalam perang anti-narkoba, sekitar 2.500 dibunuh oleh di apa polisi dan sisanya oleh pembunuh bayaran.
Begini Konflik Antara Duterte dan Presiden Filipina Ferdinand Marcos Jr
31 Januari 2024
Begini Konflik Antara Duterte dan Presiden Filipina Ferdinand Marcos Jr
Marcos bekerja sama dengan putri Duterte, Sara, untuk menjadikannya wakil presiden dalam kemenangan Pemilu 2022. Namun, keretakan dalam aliansi keluarga tersebut muncul ketika petahana telah menyimpang dari kebijakan anti-narkoba dan kebijakan luar negeri pendahulunya.