Rektor Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Prof. Bambang (kiri), bersama Ahmad Syafi'i Ma'arif (tengah), memberikan tanda gelar Doktor Honoris Causa bidang perdamaian dan Islam kepada Tun Mahathir Mohamad (kanan) di Sportarium UMY, Yogyakarta, 17 Maret 2016. Ini merupakan kelar Honoris Causa ke-46 bagi Tun Mahatir Mohamad. TEMPO/Pius Erlangga
TEMPO.CO, Yogyakarta - Perdana Menteri Malaysia Periode 1981-2003, Tun Dr Mahathir Mohammad, mengatakan kekerasan terhadap etnis Rohingya di Myanmar menggambarkan penindasan terhadap muslim. “Pembunuhan terhadap Rohingya merupakan persoalan yang sangat serius dan harus dihentikan,” kata Mahatir setelah memberikan kuliah umum bertajuk “Peace and Interreligious Dialogue in Worldwide Education” di Sportorium Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, Senin, 5 Desember 2016.
Mahatir mengatakan rakyat Malaysia telah melakukan aksi demonstrasi untuk menentang kekerasan terhadap etnis Rohingya. Menurut catatan badan pengungsi PBB United Nations High Commissioner for Refugees, lebih dari 56 ribu Rohingya terdaftar di Malaysia.
Mahatir meminta cara-cara diplomasi dengan Myanmar untuk menyelesaikan persoalan itu. Mahatir menyerukan agar konflik diselesaikan melalui pendekatan perdamaian. Penyelesaiannya melalui perundingan dalam forum, bukan melalui perang.
Sejak pensiun dari jabatan Perdana Menteri Malaysia, Mahatir gigih mengkampanyekan seruan anti-perang. UMY pada Maret 2016 memberikan gelar kehormatan doktor honoris causa di bidang perdamaian kepada Mahatir.
Mantan Ketua Umum Pengurus Pusat Muhammadiyah, Din Syamsuddin, mengatakan kekerasan terhadap Rohingya menggambarkan adanya krisis kemanusiaan. Dia meminta Organisasi Kerja Sama Islam atau OKI menggelar rapat darurat dan menjalankan langkah konkret untuk mengatasi kekerasan terhadap Rohingya.
Din juga mengimbau umat Islam tidak melihat kasus Rohingya sebagai konflik agama. “Kekerasan terhadap Rohingya tidak ada kaitannya dengan masalah agama,” kata Din.