Presiden Filipina, Rodrigo Duterte, melakukan "fist bump", dalam kunjungan ke kamp militer Capinpin, Tanay, Rizal, Filipina, 24 Agustus 2016. REUTERS/Erik De Castro
TEMPO.CO, Manila - Presiden Filipina, Rodrigo Roa Duterte mengancam untuk membunuh aktivis hak asasi manusia (HAM) yang mengkritik kebijakannya, memerangi narkoba yang telah merenggut sekitar 5.000 nyawa.
Dalam pidatonya di Malacanang pada Senin malam, Presiden Duterte mengatakan mereka yang menuduhnya memerintahkan hukuman mati atas pelaku narkoba harus disalahkan jika masalah narkoba di negara itu bertambah buruk.
"Penggiat HAM mengatakan saya memerintahkan pembunuhan ini. Saya mengatakan kepada mereka baiklah. Kita berhenti. Kita biarkan pecandu narkoba ini bertambah. Bila saatnya nanti, lebih banyak lagi yang akan mati," kata presiden itu pada peluncuran pembangkit listrik batubara.
"Saya akan libatkan Anda semua dalam hal ini karena Anda adalah penyebab mengapa jumlah mereka bertambah," kata Presiden Duterte, seperti yang dilansir Inquirer pada 29 November 2016.
Selain mengancam akan membunuh aktivis HAM, presiden Duterte juga menybut bahwa Pengadilan Kriminal Internasional (ICC) yang kerap mengkritisi dirinya, penuh dengan omong kosong. Dia juga mengancam akan keluar dari ICC mengikuti jejak Rusia karena menurutnya lembaga buatan Eropa itu tidak berguna.
Dalam kesempatan tersebut Presiden Duterte juga mengingatkan bahwa "narcopolitics" sudah ada di Filipina "mengingat begitu banyak ribuan polisi dan walikota yang terlibat" dalam penjualan dan distribusi obat-obatan terlarang.
Presiden Duterte secara terbuka memberikan peringatan keras kepada pecandu dan pengedar narkoba, namun konsisten dalam membantah sindiran bahwa kata-katanya itu menjurus kepada pembunuhan di luar hukum.
Begini Konflik Antara Duterte dan Presiden Filipina Ferdinand Marcos Jr
31 Januari 2024
Begini Konflik Antara Duterte dan Presiden Filipina Ferdinand Marcos Jr
Marcos bekerja sama dengan putri Duterte, Sara, untuk menjadikannya wakil presiden dalam kemenangan Pemilu 2022. Namun, keretakan dalam aliansi keluarga tersebut muncul ketika petahana telah menyimpang dari kebijakan anti-narkoba dan kebijakan luar negeri pendahulunya.