Pemilu Amerika: Dukungan untuk Hillary dari Minoritas Harlem
Editor
Suseno TNR
Rabu, 9 November 2016 03:25 WIB
TEMPO.CO, New York - Pemilihan umum presiden Amerika Serikat yang dilaksanakan pada Selasa, 8 November, secara umum dimulai sejak pukul 06.00 pagi (waktu setempat). Di beberapa negara, saat pemilu digelar, pemerintah menerapkan libur nasional. Kebijakan ini untuk memberi kesempatan kepada penduduk untuk menggunakan hak suaranya.
Namun di Amerika Serikat, kebijakan tersebut tak berlaku. Saat pemilihan presiden digelar, seluruh kegiatan masyarakat berlangsung seperti biasa. Pemerintah Amerika hanya memberi kelonggaran waktu kepada penduduk yang akan mengggunakan hak pilihnya.
"Kantor-kantor akan mengizinkan karyawannya datang terlambat atau pulang lebih cepat," ujar Direktur Pelaksana Urusan Hubungan Masyarakat Departemen Luar Negeri AS, Richard Buangan dalam wawancara dengan sejumlah wartawan di New York.
Di Amerika Serikat, tempat-tempat umum yang biasa dijadikan tempat pemungutan suara (TPS), antara lain sekolah-sekolah negeri dan pusat-pusat komunitas, serta beberapa tempat umum lainnya.
Pada hari H ajang demokrasi di Negeri Paman Sam itu, beberapa TPS di New York tampak sudah dipenuhi dengan antrean panjang para warga yang ingin menggunakan hak pilihnya.
Misalnya, di Pusat Komunitas Frederick E. Samuel di Harlem, New York, para pemilih sudah mulai berbaris sejak pukul 06.00.
Para warga Harlem yang akan memilih di pusat komunitas itu tampak berdiri dalam antrean panjang dan mengikuti instruksi dari panitia pemilu, yang akan mengarahkan mereka untuk mengambil kertas suara dan menuju bilik suara.
Di antara barisan orang-orang yang mengantre, ada cukup banyak warga usia lanjut yang menggunakan alat bantu jalan untuk menuju TPS dan berpartisipasi dalam pemungutan suara.
Harlem adalah sebuah lingkungan besar di bagian utara New York City di wilayah Manhattan. Sejak tahun 1920-an, Harlem telah dikenal sebagai pusat utama permukiman, budaya dan bisnis warga Afrika-Amerika.
Selain orang keturunan Afrika-Amerika, di Harlem juga ada banyak penduduk AS dari kalangan minoritas lainnya, seperti warga keturunan Latin.
Ketika ditanya mengenai kandidat presiden yang dipilih, sebagian besar penduduk kulit hitam di Harlem sangat terbuka dan tidak berusaha merahasiakan pilihan mereka. Bahkan, beberapa dari mereka dengan santai menyampaikan tentang siapa yang mereka pilih ketika berada di dalam bilik suara.
"Saya memilih Hillary Clinton," ujar seorang penduduk kulit hitam AS, Mark Omar, dengan lantang ketika keluar dari gedung pusat komunitas usai memberikan suaranya.
Omar (62) mengaku bahwa dia memilih Hillary Clinton - calon presiden AS dari Partai Demokrat - karena dia tidak menyukai capres Partai Republik Donald Trump.
Beberapa warga Afrika-Amerika lainnya dan warga AS keturunan Latin yang ditemui di beberapa TPS di Harlem mengaku memilih Hillary Clinton karena khawatir tentang nasib mereka bila Donald Trump terpilih menjadi presiden Amerika Serikat yang baru.
Tari Jenebajalgh, seorang penduduk Muslim AS keturunan Afrika, mengaku baru pertama kali mengikuti pemilu walaupun sudah lama tinggal di AS.
"Saya memilih Hillary. Saya dulu imigran dari Afrika Barat dan sudah 16 tahun tinggal di Amerika Serikat, dan baru kali ini saya ikut pemilu. Trump membuat saya ingin mengikuti pemilu, saya tidak ingin dia menang. Dia tidak pantas sama sekali menjadi presiden," ujar dia.
Hal serupa juga disampaikan oleh Juan, seorang warga pria AS keturunan Latin, yang mengaku bahwa pemilu presiden kali ini sangat penting baginya.
"Pemungutan suara kali ini sangat penting. Saya memberikan suara untuk (Hillary) Clinton. Saya tidak memilih dia (Trump)," ucap Juan.
Capres Partai Republik Donald Trump memang tidak populer di kalangan warga minoritas di Amerika Serikat. Hal itu karena pernyataan-pernyataan Trump selama kampanye pilpres yang bersifat mendiskriminasi banyak kaum minoritas di AS, antara lain warga keturunan latin, kulit hitam, dan Muslim.
Profesor Ilmu Politik dari Universitas Miami, Joseph Uscinski, mengatakan salah satu faktor yang akan mendekatkan Hillary ke kursi nomor satu di AS adalah dukungan dari kaum minoritas, yang tampaknya sulit diperoleh oleh capres Partai Republik Donald Trump.
Dalam pernyataan yang dikeluarkan New York Foreign Press Center, Uscinski menyebutkan bahwa, meskipun termasuk golongan minoritas, warga Latin mempunyai suara cukup besar di setiap pemilu AS. Hillary dalam beberapa jajak pendapat terakhir berhasil mendulang suara signifikan dari warga keturunan Latin di AS.
"Saat ini 70 persen warga AS adalah penduduk kulit putih, tetapi etnis Latin terus bertambah. Ke depannya pasti sulit memenangi pemilu tanpa mendapat dukungan komunitas Latin," ujar dia.
"Donald Trump sama sekali tidak terlihat untuk mendapat suara dari mereka, jadi kaum Republik akan terluka dalam beberapa pemilu ke depan," tambahnya.
Namun demikian, persaingan antara Hillary Clinton dan Donald Trump dalam upaya menuju Gedung Putih masih terus berlangsung sampai salah satu dari kedua capres resmi dinyatakan sebagai pemenang dan mendapatkan kursi nomor satu di Negeri Paman Sam.
ANTARA
Baca Pula
Laporkan Ahok, Sang Mantan Biarawati Punya Alasan Ini
Dinilai Menghasut Makar, Fahri Hamzah Dilaporkan ke Polisi