Donald Trump mengacungkan ibu jari saat berkampanye di Gallogly Events Center, Universitas Colorado, Colorado, 29 Juli 2016. AP/Evan Vucci
TEMPO.CO, Jakarta - Media terkemuka Amerika Serikat, New York Times, baru-baru ini berhasil mengungkapkan bahwa perusahaan yang dimiliki oleh Donald Trump memiliki utang sekitar US$ 650 juta (Rp 8,6 triliun). Jumlah tersebut lebih besar dua kali lipat dari jumlah yang diungkapkan dalam catatan publik oleh tim kampanyenya.
Seperti dilansir Independent pada Senin, 21 Agustus 2016, dalam melakukan investigasi tersebut, NY Times bekerja sama dengan perusahaan informasi properti untuk menyelidiki data terhadap 30 perusahaan yang ada hubungannya dengan calon presiden dari Partai Republik dalam pemilu Amerika Serikat itu.
Investigasi NY Times juga menemukan nasib Trump tergantung secara mendalam pada berbagai fasilitas utang yang disediakan pendukung keuangannya, termasuk dari seseorang yang dia kutuk saat berkampanye.
Sebagai contoh, sebuah gedung kantor di Avenue of the Americas di New York, yang sebagian dimiliki Trump, memiliki utang sebesar US$ 950 juta (Rp 12,5 triliun).
Selain itu, sebagian besar kekayaan Trump juga dikaitkan dengan tiga perusahaan yang memiliki utang sebesar US$ 2 miliar (Rp 26,4 triliun) dengan beberapa pemberi pinjaman.
Miliarder itu menggunakan catatan keberhasilan bisnis yang diakuinya senilai US$ 10 miliar (Rp 132,3 triliun) dan mengatakan kesuksesannya itu membuat dia layak untuk menjadi presiden.
Meskipun demikian, Trump menolak desakan dan tekanan, termasuk dari partainya sendiri, untuk mengungkapkan pajak pendapatannya atau penyelidikan itu menunjukkan betapa banyaknya bisnis Trump yang masih menjadi misteri.
Di antara para pemberi pinjamannya itu adalah bank terbesar di Cina (Bank of China) yang dituduhnya sebagai musuh ekonomi Amerika Serikat dan bank investasi Golden Sachs, yang diakuinya membantu pesaingnya, Hillary Clinton dari Partai Demokrat.
NY Times juga mengatakan bahwa jika terpilih menjadi presiden, maka Trump bisa membuat keputusan yang akan memberi pengaruh besar terhadap kerajaan bisnisnya.
Hasil investigasi tersebut dirilis menyusul penolakan Trump untuk membuka data pajaknya, dengan alasan masih dalam proses audit.