Warga Yahudi Ultra-Ortodoks Yahudi mengantre untuk memeriksa apakah daun palem mereka diterima secara ritual untuk perayaan Sukkot di Yerusalem, 24 September 2015. Sukkot diadakan untuk memperingati 40 tahun Israel mengembara di padang pasir. AP/Oded Balilty
TEMPO.CO, Yerusalem - Ratusan warga Ethiopia-Israel turun ke jalan di Yerusalem setelah pemerintah membatalkan rencana mengizinkan keluarga mereka dari Afrika berimigrasi. Menurut mereka, kebijakan tersebut dianggap diskriminatif.
Polisi menaksir, jumlah peserta unjuk rasa pada Minggu, 20 Maret 2016, itu mencapai 2.000 orang. Polisi menjelaskan, demonstrasi itu berakhir di luar kantor Perdana Menteri Benjamin Netanyahu.
"Hentikan penderitaan, hentikan diskriminasi, hentikan rasisme," teriak demonstran sambil membawa spanduk dengan bunyi yang sama serta foto keluarga mereka di Ethiopia.
Antaihe Cheol, 30 tahun, warga utara Israel, mengatakan ayah dan saudara laki-lakinya telah menunggu kesempatan untuk pindah ke Israel selama 20 tahun. "Ini benar-benar diskriminasi," ucapnya kepada kantor berita AFP.
Menurut rekannya, Ashebo, pemerintah Israel secara aktif memberikan kesempatan imigrasi pada kaum Yahudi dari Prancis, Amerika Serikat, dan Rusia. "Ketika ada permohonan dari Yahudi Ethiopia, pemerintah Israel menolak," katanya. "Ini memalukan."
Jumlah komunitas Ethiopia-Yahudi di Israel sekitar 135 ribu orang.
Setelah lama tenggelam oleh berita Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS) dan sengkarut Timur Tengah, kisruh Palestina-Israel kini kembali menjadi pusat perhatian dunia. Setiap hari sejak 14 Juli, warga Palestina di Yerusalem Timur dan Tepi Barat berdemonstrasi menentang pemasangan detektor logam di pintu-pintu masuk ke kompleks Masjid Al-Aqsa (Al-Haram Al-Syarif). Palestina memandangnya sebagai upaya Israel untuk mengontrol tempat suci tersebut.