Peristiwa 1965 Dibahas Pegiat HAM dan Peneliti di Belanda
Editor
Maria Rita Hasugian
Sabtu, 3 Oktober 2015 15:59 WIB
TEMPO.CO, Amsterdam - Memperingati 50 tahun peristiwa 1965, gabungan organisasi kemanusiaan di Belanda dan Universitas California mengadakan simposium bertajuk “1965 today. Living with the Indonesian Killings”. Acara digelar selama dua hari yang dimulai hari ini, 1-2 Oktober 2015.
Tak kurang dari 60 orang hadir dalam simposium yang diadakan di Het Ketelhuis-Amsterdam. Mereka terdiri dari para pegiat hak asasi manusia, mahasiswa, akademikus, dan juga masyarakat umum yang tertarik dengan peristiwa 1965.
Acara dibuka dengan pemutaran sejumlah film yang tentu saja terkait dengan peristiwa 1965. Beberapa film serial dokumenter yang ditayangkan di televisi Belanda 1969 berjudul Millstone around the authorities neck: a prison in Indonesia (VARA-salah satu saluran televisi di Belanda)
Peter Keppy, seorang peneliti senior dan juga akademikus dari NIOD, dalam pembukaannya mengatakan berbagai kegiatan ini untuk menambah daya kritis orang tentang apa yang bisa dibuat media visual dan apa yang tidak. Di samping juga menekankan pentingnya memperluas wawasan tentang apa yang terjadi pada 1965-1966 dan dampaknya yang terus-menerus bagi masyarakat Indonesia dan juga bagi dunia barat.
Ariel Hariyanto sebagai pembicara yang khusus diundang pada acara pembukaan mengatakan tantangan saat ini bukan lagi mencari siapa yang salah, atau siapa yang bertanggung jawab, dan siapa yang harus dihukum atau siapa dalang peristiwa ini. Tetapi yang menjadi tantangan bagi dirinya dan juga para aktivis dan akademikus saat ini adalah bagaimana peristiwa 1965 ini bisa diketahui generasi muda saat ini.
"Generasi saya dan para aktivis kemanusiaan yang ada sekarang ini nantinya kan sudah habis masanya. Kita-kita ini akan meninggal dunia, apakah kita masih akan berkutat dalam hal-hal yang sama? Dan membiarkan persoalan ini lenyap? “ kata Ariel.
Ini akan menjadi kritik juga bagi generasi tua yang berkutat dengan persoalan 1965 agar juga mau dan mampu menularkan semangat bahwa peristiwa ini tidak lagi boleh terulang.
“Coba aja sekarang tanya apakah masih ada anak muda yang tahu atau bahkan tertarik dengan sejarah, termasuk peristiwa 65 ini? Saya rasa tidak. Karena buku Pramoedya Ananta aja laris terjual, banyak juga film-film bertema sejarah yang saat ini diputar di bioskop."
Artinya, Ariel melanjutkan, saat ini tinggal bagaimana generasi tua bisa menyampaikan apa yang terjadi pada 1965 dengan cara mereka, dengan gaya mereka dan dengan bahasa yang mereka pakai.
Selanjutnya >> Pada hari kedua
<!--more-->
Pada hari kedua yang digelar hari ini, 2 Oktober 2015, peneliti Annie Polhman akan memaparkan kumpulan tulisan tentang kisah korban 1965 yang sudah diterbitkan di bukunya dalam bahasa Jerman. Juga Ayu Ratih dari ISSI akan menyampaikan makalah yang berisi strategi bagaimana menjelaskan peristiwa 1965 ini kepada anak-anak di sekolah.
Sementara John Roosa (UBC) akan menjelaskan bagaimana pembunuhan terjadi dan memperjelas hubungan antara tentara, milisi masyarakat sipil serta peranan mereka pada peristiwa 1965.
Penekanannya adalah pada pola bagaimana masyarakat ini dibunuh. Misalnya mereka terlebih dulu ditahan, lalu diseleksi dan dinaikkan di atas truk pada malam hari. Mereka lalu dibawa ke tempat yang sepi supaya tidak ada saksi mata yang melihat. Lalu korban dibunuh di tempat. Mayatnya ditanam di sebuah kebun misalnya.
John Rosa meneliti kasus ini sejak 2000. Ia mendatangi saksi mata dan keluarga korban dan juga pelaku yang ada di berbagai daerah, seperti di Bali, Jawa Tengah, dan Jawa Timur.
Di acara ini juga diputar film yang berkaitan dengan peristiwa 1965 yakni The Year of Living Dangerously (1982) yang dibintangi Mel Gibson. Ini adalah film drama percintaan produksi Hollywood yang diadaptasi dari buku Christhopher Koch. Dengan latar belakang politik Indonesia 1965.
Acara yang dimulai sejak pukul 13.00 waktu setempat berakhir tepat waktu hingga pukul 18.30. Acara ini diselenggarakan oleh Gabungan organisasi yang terdiri atas KITLV (Royal Nederlands Institute of Southeast Asian and Caribbean Studies), University of California Los Angeles dan NIOD Institute for War-Holocaust and Genocide Studies.
YUKE MAYARATIH