FEATURE: Cara Singapura Mengontrol Pemondokan Pekerja Migran
Editor
Ahmad Nurhasim
Selasa, 18 Agustus 2015 19:03 WIB
TEMPO.CO, Singapura - Empat pekerja migran tampak salat zuhur berjemaah di bawah paparan sinar matahari di kompleks dormitory (rumah susun sederhana sewa atau asrama) Westlite di 18 Toh Guan Road East, kawasan Jurong, Singapura. Mereka menggelar sajadah di ruang terbuka di antara dua bangunan rumah susun yang menjulang tersebut.
Rumah bertingkat yang memiliki delapan blok ini, termasuk 18 tingkat yang baru selesai Januari tahun lalu, khusus diperuntukkan bagi para pekerja migran kelas bergaji rendah dari Bangladesh, India, Myanmar, Thailand, Cina, dan negara lain di Asia.
Seorang pekerja migran asal Bangladesh mengatakan mereka terpaksa salat di luar asrama di bawah terik matahari karena tak ada ruangan untuk salat di dalam kamar yang mereka sewa. ”Satu kamar kami huni bersama 12 orang,” kata pekerja yang tak mau disebut namanya, saat ditemui di rumah susun sewa Westlite, Kamis pekan lalu.
Westlite Dormitory Toh Guan memiliki 8.600 tempat tidur. Setiap kamar yang luasnya sekitar 42 meter persegi diisi 12 ranjang bertingkat, masing-masing dua ranjang. Setiap kamar memiliki empat kamar mandi dan satu toilet. Ada pula tempat memasak dengan dua kompor listrik yang disisipkan di depan kamar mandi. Penghuni bisa naik dan turun memakai lift atau tangga.
Westlite Toh Guan dihuni oleh pekerja migran yang bekerja di sektor konstruksi, kelautan seperti pembuatan galangan kapal dan pelayaran, manufaktur, dan minyak dan gas. Kontrak sewa asrama setidaknya 12 bulan yang dibayar oleh perusahaan yang mempekerjakan buruh migran. Perusahaan membayar sewa sekitar $ 220 per bulan untuk satu ranjang. Urusan sehari-hari seperti mencuci, setrika, dan memasak dikerjakan sendiri oleh pekerja.
Walau setiap penghuni bebas keluar masuk di rumah susun sewa Westlite Toh Guan, mereka diawasi secara ketat dengan CCTV alias kamera pengintai yang tersebar di setiap sudut. Tak sembarang orang bisa masuk ke kompleks rumah sewa. Setiap penguni hanya bisa masuk dengan kartu yang di-tapping di pintu masuk.
Ada banyak larangan yang diterapkan untuk penghuni seperti dilarang membawa minuman keras dan berjudi, dilarang berkelahi, dilarang merokok dan meludah di sembarang tempat. Para pelanggar dikenai denda $100 untuk setiap pelanggaran. Foto wajah sejumlah penghuni yang didenda dan diusir dari asrama karena melakukan pelanggaran dipampang di dekat pintu masuk. ”Kami tidak menoleransi para pelanggar,” kata General Manager Westlite Toh Guan, Mr. Deen.
Selain banyak larangan, pengelola Westlite Toh Guan menyediakan fasilitas seperti minimarket yang menyediakan semua kebutuhan dapur, ATM, jaringan Internet, kantin, ruang baca dengan koran berbagai bahasa, klinik kesehatan, dan tukang cukur. Disediakan pula fasilitas olahraga dan layar tancak di akhir pekan. Ada pula layanan kursus Bahasa Inggris dan peningkatan keterampilan.
Pemerintah Singapura menyatakan asrama besar seperti Westlite berperan penting tidak hanya menyediakan akomodasi dasar bagi pekerja migran, tapi juga kehidupan sosial dan kebutuhan rekreasi mereka. Tapi model asrama ini dikritik oleh aktivis advokasi buruh migran karena terletak jauh dari daerah perumahan sehingga memperlebar jarak pekerja dan masyarakat umum.
Singapura menjadi daya tarik bagi pekerja migran karena dianggap menjanjikan kesejahteran dan kehidupan yang lebih baik. Di saat yang sama penduduk dan pemerintah Singapura juga bergantung kepada pekerja imigran untuk jenis pekerjaan-pekerjaan yang tidak mau mereka kerjakan. Tak hanya pekerja berbakat, pekerja dengan keterampilan otot pun berdatangan ke Singapura.
Pada 2014, total penduduk Singapura berjumlah 5,5 juta orang, 61 persen di antaranya warga negara, 10 persen permanen residen, dan orang asing 29 persen. Dari jumlah orang asing itu, sekitar satu juta di antaranya orang asing yang memperoleh izin kerja untuk kategori pekerjaan kasar.
Dari satu juta itu, 780 ribu di antaranya pekerja migran di berbagai bidang non-rumah tangga seperti konstruksi dan pelayaran, dan 220 ribu bekerja di sektor rumah tangga. Pekerja migran di sektor rumah tangga alias PRT didominasi dari Indonesia dan Filipina dengan upah bulanan US$ 360.
Lalu berapa upah para pekerja migran kerah biru non-rumah tangga di Singapura? Menurut lembaga swadaya masyarakat yang mengadvokasi pekerja migran, Transient Workers Count Too (TWC2), pekerja migran untuk tenaga kasar di sektor non-rumah tangga menerima upah bulanan antara $ 400-1.200 (termasuk upah lembur).
Ada banyak alasan pekerja migran bertaruh nasib di Singapura. Buruknya penegakan hukum dan korupsi yang merajalela di Bangladesh, menurut Debbie Fordyce, anggota eksekutif Transient Workers Count Too, telah merusak bisnis dan harapan di negara tersebut untuk hidup lebih baik.
Karena itu, kata dia, banyak laki-laki Bangladesh bermigrasi dengan meminjam atau menjual aset keluarga untuk berangkat ke Singapura. ”Mereka menganggap Singapura adalah negara impian,” kata Debbie.
Biaya mendapat pekerjaan di Singapura sebenarnya tidak murah. Menurut koresponden senior The Straits Times yang kerap menulis isu migrasi, Radha Basu, sebagian pekerja migran membayar $10.000 ke agen di negara asal mereka untuk mendapat pekerjaan di Singapura.
Mereka datang untuk setahun kontrak, kembali lagi tahun berikutnya karena terjerat utang sebelumnya yang dipakai untuk membayar agen. Kedatangan yang pertama tidak mampu menutup utang. ”Upah awal mereka rata-rata $ 18 per hari dan mungkin tidak berubah selama 15 tahun,” kata Basu dalam Asia Jurnalism Forum 2015 yang digelar oleh Temasek Foundation bersama Nanyang Technological University dan Hong Kong Baptist University di Singapura, pekan lalu.
AHMAD NURHASIM (SINGAPURA)