Polisi menembakkan gas air mata saat membubarkan pengunjuk rasa yang menolak putusan Presiden Pierre Nkurunziza di Bujumbura, Burundi, 27 April 2015. Warga Burundi menolak Pierre Nkurunziza untuk kembali mencalonkan diri dalam pemilihan presiden mendatang untuk yang ketiga kalinya. REUTERS
TEMPO.CO, Bujumbura - Bekas kepala dinas intelijen Burundi mengklaim telah memecat presiden negara tersebut, Pierre Nkurunziza, yang terpilih untuk ketiga kalinya sebagai presiden. Meski Nkurunziza terpilih kembali, kemenangannya diwarnai kekerasan yang menyebabkan sedikitnya 20 orang meninggal dan lebih dari 50 ribu lainnya mengungsi.
Mayor Jenderal Godefroid Niyombare, pria yang dipecat Nkurunziza sebagai kepala dinas intelijen tiga bulan lalu, mengatakan kepada wartawan di barak militer di Ibu Kota Bujumbura, saat ini dia sedang bekerja sama dengan kelompok masyarakat sipil, pimpinan agama, dan para politikus untuk membentuk pemerintahan transisi.
"Atas arogansi Presiden Nkurunziza dan tentangan komunitas internasional yang menyarankan agar dia menghormati konstitusi dan kesepakatan perdamaian Arusha, Komite Penegakan Nasional memutuskan Presiden Nkurunziza dipecat. Pemerintahannya juga dibubarkan," katanya kepada Reuters.
Pengumuman yang sama disampaikan oleh Niyombare kepada jaringan televisi nasional dan seluruh stasiun radio.
Kabar tersebut langsung disambut meriah ribuan warga Burundi. Mereka turun ke jalan, menari-menari guna merayakan kudeta, sementara aparat kepolisian dilaporkan telah meninggalkan pos mereka. Tapi belum jelas apakah Niyombare mendapatkan dukungan tentara.
Melalui akun Twitter resminya, Nkurunziza, yang dikabarkan berada di Tanzania, menolak mengakui kudeta tersebut. "Kudeta ini gagal." Keberadaan Nkurunziza di luar negeri itu bertujuan membicarakan masalah krisis di negaranya. Dia menyebut kudeta tersebut sebagai lelucon.