Sebuah pesawat jet tempur asal Peranics, Rafale terbang di pangkalan udara Saint-Dizier di Perancis, 13 Februari 2015. Mesir membeli pesawat tempur yang mampu berpangkalan di daratan maupun di kapal induk, Rafale senilai lima milyar euro setara dengan 5,7 milyar dollar. REUTERS
TEMPO.CO, Kairo - Presiden Mesir Abdel Fattah el-Sisi mendesak Perserikatan Bangsa-Bangsa memberikan mandat kepada koalisi internasional melakukan intervensi ke Libya setelah sejumlah jet tempur Negeri Piramida itu membobardir markas pertahanan Negara Islam Irak dan suriah (ISIS) di sana.
"Tidak ada pilihan lain, dengan mempertimbangkan persetujuan rakyat dan pemerintahan Libya, mereka membutuhkan kita untuk bertindak," ucapnya kepada radio Prancis, Europe 1, dalam sebuah wawancara yang diudarakan pada Selasa, 17 Februari 2015.
Ketika ditanya, apakah Mesir akan memulai aksi sendiri lagi, Jenderal el-Sisi menjawab, "Kami akan melakukanya lagi, dan semua kekuatan akan mendukung kami."
Gempuran udara yang menewaskan sedikitnya tujuh warga sipil di Libya itu dipicu siaran video yang diedarkan oleh awak ISIS kepada publik. Dalam siaran rekaman tersebut tampak kepala 21 umat Kristen Koptik Mesir dipenggal.
Aksi kejam tersebut selanjutnya direspon militer Mesir dengan serangan udara pada Senin, 16 Februari 2015, terhadap sejumlah kamp latihan ISIS berikut gudang senjata mereka di sebelah timur laut Libya.
Dalam sebuah pernyataan yang disiarkan televisi, militer Mesir menyatakan, "Gempuran udara terhadap sasaran ISIS sukses dan seluruh jet Falcon kami kembali ke pangkalan dengan aman."
Namun demikian sejumlah foto yang beredar di media sosial menunjukkan beberapa rumah warga di kawasan Derna, tempat gempuran itu berlangsung, rusak parah. "Sedikitnya tujuh warga sipil tewas termasuk tiga anak kecil," kata sumber Al Jazeera.
Menanggapi serangan udara tetangganya, Kepala Pemerintahan Libya di Tripoli, Omar al-Hassi, menyebut bahwa gempuran tersebut merupakan agresi terorisme Mesir. "Itu agresi yang tak bisa diampuni." Dia menambahkan, "Serangan ini mengerikan. Militer Mesir telah melakukan tindakan terorisme dan itu merupakan pelanggaran kedaulatan Libya dan hukum internasional, serta Piagam PBB."