Myanmar President, Thein Sein. REUTERS/Vesa Moilanen/Lehtikuva
TEMPO.CO, Rangon - Puluhan wartawan berunjuk rasa di kota terbesar di Myanmar atas penahanan rekan mereka karena menulis korupsi di negeri itu.
Dalam aksinya, mereka mengenakan kaos hitam bertuliskan, "Kami tidak ingin ada ancaman terhadap kebebasan pers," seraya membawa spanduk dengan tulisan, "Hak informasi adalah kehidupan demokrasi".
Sedikitnya 60 wartawan turun ke jalan di kota tersibuk di Myanmar, Rangoon, guna memprotes penahanan terhadap Ma Khine dari koran Daily Eleven. Januari 2014 lalu, pengadilan di sebelah timur negara bagian Kayah menuduh Ma Khine menggunakan bahasa kasar dan pencemaran nama baik.
Wartawan Myanmar baru meraih kebebasan pada masa pemerintahan reformis Presiden Thein Sein, yang mengambil kekuasaan sejak 2011. Dia menghapus hampir seluruh kebijakan sensor dan mengizinkan perusahaan penerbitan swasta menerbitkan koran. Semua itu adalah kehidupan bebas pertama kali bagi wartawan sejak lima dekade ini di Myanmar.
Sebelumnya, wartawan bekerja di bawah tekanan ketat rezim. Mereka senantiasa menjadi subyek pengintaian petugas negara, penyadapan telepon, dan sensor terhadap seluruh penerbitan. Ma Khine adalah wartawan pertama di bawah pemerintahan Thein Sein yang dituntut hukuman penjara lantaran menulis soal korupsi.
Ma Khine digugat seorang pengacara setelah mengunjungi rumahnya untuk sebuah wawancara mengenai kasus korupsi. Pengacara ini merasa terganggu atas sejumlah pertanyaannya, sehingga dia mengusir Ma Khine. "Selanjutnya pengacara itu menggugat Ma Khine ke pengadilan," kata Wai Phyo, pemimpin redaksi Daily Eleven.
"Hakim sebetulnya bisa saja mengenakan denda, tapi dia memilih menjatuhkan hukuman penjara. Keputusan ini tidak hanya mengancam wartawan, melainkan juga kebebasan pers," ujarnya.