Sejumlah warga berkumpul untuk mencari korban selamat di antara reruntuhan bangunan yang hancur diserang lewat udara di sebuah kawasan pemukiman di Duma, Damaskus, Suriah (7/1). REUTERS/Bassam Khabieh
TEMPO.CO, Montreux - Hari pertama Konferensi Jenewa II di Montreux, Swiss, Rabu, 22 Januari 2014 diwarnai perselisihan pandangan antara wakil pemerintah Suriah dan pihak oposisi Suriah.
Menteri Luar Negeri Suriah Walid Muallem mendesak masyarakat internasional untuk "berhenti mendukung oposisi bersenjata" di negara itu.
"Suriah adalah negara berdaulat dan akan melakukan apa yang dibutuhkan untuk kepentingan rakyat Suriah," katanya. "Jika Anda benar-benar prihatin atas situasi kemanusiaan di Suriah, mari bertindak dengan benar."
Menurut Muallem, bantuan senjata kepada oposisi bersenjata ikut menyumbang aksi kekejaman yang dilakukan oleh kelompok ekstremis di Suriah. Muallem menuding orang-orang itu, yang berlindung di balik gerakan revolusi, mencoba untuk "bersenang-senang" di negara ini.
Ahmed Jarba, Kepala Koalisi Nasional Suriah, blok oposisi utama negara itu, mengkritik pemerintah karena terus melakukan pembunuhan. "Pembunuhan massal terus berlanjut di Suriah. Bisakah kita diam saja? Bukan pilihan kami untuk angkat senjata," katanya.
Dia mengatakan, kini tidak ada waktu lagi untuk berbasa-basi dan ia menuntut pembentukan pemerintahan transisi. "Untuk Suriah, waktu kini sama artinya dengan darah," katanya.
Muallem telah menjelaskan dalam pidatonya bahwa "tak seorang pun di dunia ini memiliki hak untuk menarik legitimasi presiden atau pemerintah, selain rakyat Suriah sendiri."
Konferensi Jenewa 2, yang berlangsung 18 bulan setelah pertemuan Jenewa pertama Juni 2012, diharapkan bisa membawa terobosan penting dan mengakhiri konflik tiga tahun Suriah yang menewaskan lebih dari 130.000 orang dan jutaan lainnya mengungsi ke negara lain.