Laporan dari Suriah, Dapat Tasbih dari Gerilyawan
Editor
Grace gandhi
Jumat, 23 November 2012 09:27 WIB
TEMPO.CO, Allepo - Di Pasar Souk al-Madina, Aleppo, Ahad empat pekan lalu, Ahmad Keeko menatap tajam ke arah saya. Kalashnikov tergenggam di tangan anggota Tentara Pembebas Suriah itu. Kepada Alaaeddin, penerjemah saya, dia bertanya mengenai negara asal saya. Setelah mendengar jawaban Alaaeddin, dia kembali bertanya. “Muslim?” Alaaeddin menggeleng.
Nyaris di semua daerah yang dijaga pemberontak, para gerilyawan bertanya asal negara dan agama saya. Mungkin karena kulit saya cokelat dan tak berjenggot, sementara mereka mayoritas berkulit putih dan berbulu. Mereka penasaran. Sebelum memasuki Suriah, Ahad empat pekan lalu, sejumlah teman menakut-takuti saya, atau memberi informasi yang salah. “Hati-hati, pemberontak bisa menembak kepalamu kalau mereka tahu kamu bukan muslim,” kata seorang bekas mahasiswa di Suriah.
Inilah yang membuat saya sedikit—atau banyak—cemas. Saat memilih Alaaeddin sebagai penerjemah, saya memberi tahu bahwa saya bukan muslim, tapi saya datang dari negara muslim terbesar di dunia. Pria 30 tahun asal Azaz, utara Suriah itu, hanya tersenyum.
Jadilah, di Souk al-Madina, rasa cemas itu muncul kembali. Ada tujuh gerilyawan di salah satu bagian pasar tua—dibangun pada abad ke-14—dengan senapan dan pistol yang siap menyalak. Karena setelah tahu saya bukan muslim, Ahmad Keeko tersenyum hangat. Mungkin itu senyuman yang paling membuat saya lega. “Ahhh.. no problem, no problem,” kata bekas guru SMA itu sambil tersenyum. Mungkin itu senyum yang terbaik dan paling melegakan hati saya.
Ahmad kemudian memeluk saya, lalu memberi ciuman di pipi kanan dan pipi kiri dua kali. Jarinya menunjuk dada saya dan kemudian ke dadanya sendiri. "Brother." Teman-temannya yang lain mempersilakan saya duduk, lalu menuangkan teh. Dan ini salah satu teh terbaik dalam hidup saya. Di semua pos, para gerilyawan yang menanyakan agama dan negara saya juga menyambut baik.
Mereka begitu hangat meski saya yakin mereka bisa berubah drastis saat tembak-menembak. Beberapa malah minta foto bersama. Ahmad Keeko bahkan memberi saya tasbih kuning keemasan.
Tentu ada saja gerilyawan yang menyebalkan. Sabtu dua pekan lalu, saat saya berkendara keluar dari Aleppo, seorang pria bersorban yang mengemudikan truk dan menyapa. Saat itu tangan saya tengah memegang kamera untuk memotret suasana perjalanan. Sepuluh menit kemudian, truk itu mendahului dan menyuruh kami berhenti. Lalu, dia meminta Abdo Ibrahim, penerjemah yang bersama saya, menunjukkan surat izin.
Ia bercakap sejenak dengan Abdo, lalu Abdo bertanya apakah saya memotret pria itu. Saya jawab tidak dan saya minta dia datang untuk memeriksa hasil jepretan. Tapi dia menggeleng. Lalu, ia mempersilakan kami pergi. “Tak semua pemberontak mau dipotret,” kata Abdo.
PRAMONO (ALLEPO)
Berita Terkait:
Oposisi Suriah Butuh Bantuan Dana Rp 577 Triliun
Pejuang Islam Suriah Tolak Blok Oposisi
Penerjemah di Suriah Mirip Antonio Banderas
Sulitnya Mendapat Selembar Roti di Suriah
Oposisi Suriah Angkat Duta Besar untuk Prancis