Kebuntuan Politik Prancis Pasca Pemilu, Menanti Taktik Emmanuel Macron
Reporter
Linda Lestari
Editor
Dwi Arjanto
Rabu, 10 Juli 2024 14:15 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Presiden Prancis Emmanuel Macron menolak pengunduran diri Perdana Menteri Prancis Gabriel Attal pada Senin, 8 Juli 2024. Sang presiden berusaha keras menjaga kredibilitasnya usai gagal memecahkan kebuntuan politik.
Seperti dikutip dari Channel News Asia, partai New Front Popular (NFP) yang berhaluan kiri memenangkan kursi terbanyak dalam putaran kedua pemungutan suara parlemen hari Minggu, mengalahkan kubu tengah Macron dan kubu sayap kanan Marine Le Pen, National Rally (RN). Tetapi tidak ada kelompok yang memegang mayoritas langsung dan tidak ada kandidat perdana menteri yang muncul.
Banyak orang di Prancis merasa lega dengan hasil tersebut, kerumunan orang bersorak berkumpul di Paris untuk merayakannya. Namun, hal ini memulai pembicaraan yang berpotensi memecah belah mengenai pembentukan pemerintahan tiga minggu sebelum Paris menjadi tuan rumah Olimpiade.
Macron meminta Gabriel Attal untuk tetap di kursinya dalam kapasitas sementara untuk menyelesaikan Olimpiade. Hal ini juga ditujukan untuk meyakinkan masyarakat internasional dan pasar bahwa Prancis masih memiliki pemerintahan.
Kantor Emmanuel Macron mengatakan dia berterima kasih kepada Attal karena memimpin aliansi sentris dalam pemilihan Eropa dan legislatif dan memintanya untuk tetap tinggal untuk sementara waktu guna memastikan stabilitas negara.
Sebagai tanda keprihatinan mengenai dampak keuangan dari krisis politik di ekonomi terbesar kedua di Uni Eropa, kelompok pemimpin bisnis Medef mendesak pemerintahan baru untuk menawarkan kebijakan ekonomi yang jelas dan stabil.
Sementara itu, lembaga pemeringkat S&P memperingatkan bahwa skor kredit Prancis akan tertekan jika Paris tidak mengurangi defisit publiknya yang cukup besar, kurang dari dua bulan setelah penurunan peringkat terakhirnya.
Tidak ada ilusi
Bursa saham Paris dibuka turun 0,49 persen, rebound, dan kemudian ditutup di wilayah negatif saat Prancis mencerna situasi yang belum pernah terjadi sebelumnya dalam sejarah baru-baru ini. Hal ini menuai reaksi yang beragam dari internasional.
Mitra-mitra Prancis di Uni Eropa merasa lega karena kelompok Eurosceptic pimpinan Le Pen tidak akan berkuasa, yang mana dapat membahayakan integrasi Eropa di masa depan dan dukungan Barat terhadap Ukraina. Kanselir Jerman Olaf Scholz mengatakan kepada wartawan bahwa dia merasa lega dan berharap presiden dan anggota parlemen terpilih akan berhasil mewujudkan pemerintahan yang konstruktif.
Juru bicara Kremlin Dmitry Peskov mengatakan, "Rusia lebih suka kemenangan pihak yang siap melakukan upaya untuk memulihkan hubungan bilateral kita, tapi sekarang tidak memiliki harapan maupun ilusi tertentu mengenai masalah ini."
Di Paris, pemimpin Partai Sosialis Olivier Faure mengatakan partai-partai sekutu NFP akan memilih kandidat untuk menggantikan Attal, baik melalui konsensus atau pemungutan suara minggu ini. Namun, perdebatan di kubu kiri mengenai nama-nama Kabinet akan sengit.
Komponen NFP yang terbesar adalah France Unbowed (LFI) yang berhaluan kiri keras yang dipimpin oleh Jean-Luc Melenchon. Melenchon pada Senin malam mengatakan kepada lembaga penyiaran LCI bahwa partainya memiliki beberapa kandidat untuk disarankan guna memimpin pemerintahan, dan tampaknya mengecualikan dirinya sendiri.
Situasi yang belum pernah terjadi sebelumnya ini terjadi tepat ketika Macron akan berada di luar negeri selama sebagian besar minggu ini untuk menghadiri pertemuan puncak NATO di Washington.
Parlemen yang terbagi
Setelah mereka memenangi putaran pertama pemilihan pada tanggal 30 Juni dengan margin yang jelas, hasil hari Minggu merupakan kekecewaan besar bagi RN Le Pen, meskipun memiliki kontingen terbesarnya di parlemen. Aliansi sentris Macron akan memiliki puluhan anggota parlemen lebih sedikit namun bertahan lebih baik dari yang diharapkan dan bahkan dapat berakhir di posisi kedua ketika jumlah kursi dikonfirmasi.
NFP yang dibentuk bulan lalu setelah Macron menyerukan pemilihan cepat menyatukan kaum Sosialis, Hijau, Komunis, dan LFI yang sebelumnya terpecah belah. Proyeksi dan hasil sementara menunjukkan NFP akan menjadi blok terbesar di Majelis Nasional baru dengan sekitar 190 kursi, aliansi Macron sekitar 160 kursi, dan RN sekitar 140. Tidak ada kelompok yang mendekati 289 kursi yang dibutuhkan untuk mayoritas absolut.
Hanya sepekan yang lalu, beberapa jajak pendapat menunjukkan RN dapat memenangkan mayoritas absolut, dengan letnan Le Pen yang berusia 28 tahun, Jordan Bardella, menjadi perdana menteri. Sebaliknya, ia akan tetap menjadi anggota Parlemen Eropa, memimpin kelompok sayap kanan baru di mana RN akan menjadi anggota terbesar, bersama sekutu seperti partai pemerintah nasionalis Hungaria Fidesz milik Viktor Orban dan Liga Italia.
"Saya mengambil bagian dalam tanggung jawab saya, baik atas kemenangan dalam pemilu Eropa maupun atas kekalahan (hari Minggu). Namun, waktu ada di pihak kita, dan kita akan terus bekerja untuk meyakinkan rakyat Prancis," imbuhnya, sambil meramalkan", kata Bardella kepada wartawan, Senin, 8 Juli 2024.
Pilihan editor: Siapa yang Akan Menjadi Perdana Menteri Prancis Berikutnya?