Guru Besar FHUI Menilai Israel Mungkin Tak Patuhi Putusan ICJ dalam Kasus Lawan Afrika Selatan
Reporter
Nabiila Azzahra
Editor
Ida Rosdalina
Selasa, 16 Januari 2024 19:32 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Guru Besar Hukum Internasional di Universitas Indonesia, Hikmahanto Juwana, mengatakan dia ragu Israel akan mematuhi putusan dari Mahkamah Internasional (ICJ) dalam kasus tuduhan genosida yang dibawa oleh Afrika Selatan dan diadili pekan lalu. Afrika Selatan memohon kepada ICJ pada 11 Januari 2024 agar Mahkamah tersebut memerintahkan penerapan tindakan sementara, termasuk agar Israel menghentikan serangan di Gaza.
“Kalaupun nanti ada putusan dari Mahkamah Internasional terkait dengan Afrika Selatan lawan Israel yang mengatakan bahwa harus dihentikan, memang Israel mau dengerin?” katanya ketika ditemui wartawan usai Diskusi Pakar “Advisory Opinion di Mahkamah Internasional: Upaya Mendukung Kemerdekaan Palestina Melalui Penegakan Hukum Internasional” pada Selasa, 16 Januari 2024 di Jakarta Pusat.
Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu mengatakan pada 13 Januari bahwa Israel akan “melanjutkan perang sampai akhir — sampai kemenangan total” dengan mencapai tujuan-tujuannya yaitu menumpas Hamas, memulangkan semua sandera, dan “memastikan Gaza tidak akan lagi menjadi ancaman bagi Israel.”
“Kami akan memulihkan keamanan di selatan dan utara. Tidak ada yang akan menghentikan kita – tidak Den Haag, tidak poros kejahatan dan tidak orang lain,” tulisnya di media sosial X.
Putusan ICJ, termasuk untuk kasus Afrika Selatan melawan Israel yang belum diumumkan, sifatnya mengikat dan tanpa banding. Namun ICJ sebagai pengadilan internasional tidak memiliki kekuatan untuk menegakkannya, mengingat masing-masing negara memiliki kedaulatan. “Sebenarnya putusan Mahkamah Internasional bisa langsung dijalankan. Pertanyaannya, siapa yang mau menjalankan itu?” kata Hikmahanto.
Jika ada negara pihak dalam perselisihan yang menganggap bahwa pihak lain telah gagal melaksanakan kewajiban berdasarkan putusan ICJ, ia dapat mengajukan permasalahan tersebut ke Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Dewan tersebut kemudian diberi wewenang untuk memberikan rekomendasi tindakan-tindakan yang harus diambil untuk memberlakukan putusan ICJ.
Namun Hikmahanto berpendapat pengajuan tersebut harus kuat. Sebab, dewan beranggotakan 15 negara itu memiliki lima anggota tetap yang memegang hak veto yaitu Amerika Serikat, Inggris, Cina, Rusia, dan Prancis. “Kalau misalnya diveto, gimana? Misalnya sekarang sudah menang Afrika Selatan. Lalu (Israel) diminta berhenti. Kemudian dibawa ke Dewan Keamanan PBB. Kira-kira Amerika veto, nggak?” katanya.
Sekitar 20 negara termasuk Indonesia telah menyambut baik upaya hukum Afrika Selatan di ICJ. Hikmahanto menilai tindakan menempuh jalur hukum internasional ini merupakan bentuk rasa frustrasi dunia melihat “negara-negara kuat”, sedangkan negara-negara lain “tidak berdaya apa-apa”.
Menurutnya, tidak ada negara yang dapat memberi hukuman ke Israel. “Dalam masyarakat internasional tidak ada. Negara merasa ‘di atas saya nggak ada negara (lagi)’. Tidak ada kekuatan yang lebih tinggi. Sehingga permasalahan seperti ini seolah-olah dunia tidak berdaya,” tutur dia.
Setelah persidangan pada 11 – 12 Januari lalu, ICJ belum akan menentukan apakah Israel telah melakukan genosida, seperti dikatakan kuasa hukum Afrika Selatan. Hal itu hanya bisa dilakukan pada persidangan tahap selanjutnya, yang menurut para ahli hukum internasional membutuhkan proses beberapa tahun. ICJ hanya akan mengambil keputusan mengenai permintaan Afrika Selatan untuk tindakan sementara demi menghentikan serangan di Gaza.
Usai sidang hari kedua, Presiden ICJ Joan Donoghue mengatakan Mahkamah akan mengeluarkan putusannya “secepat mungkin”, tanpa menyebut tanggal yang pasti. Hikmahanto mengatakan putusan itu mungkin datang dalam hitungan hari atau minggu. Berdasarkan Pasal 74 Peraturan Pengadilan ICJ, permintaan untuk menyarankan tindakan sementara “harus mendapat prioritas di atas semua kasus lainnya”.
Untuk dapat menentukan apakah Israel telah melakukan genosida, diperlukan persidangan lebih lanjut yang dapat dilakukan setelah ICJ mengeluarkan putusan sela dari persidangan pekan lalu. “Tapi biasanya tidak dilanjutin,” kata Hikmahanto, yang juga menjabat Rektor Universitas Jenderal Achmad Yani.
Sebagai contoh kasus serupa yang diadili ICJ sebelumnya, Gambia menggugat Myanmar atas tuduhan genosida pada 2019 dan kasus tersebut masih berada di daftar “kasus yang tertunda” di situs resmi ICJ. Perkembangan terakhir yang tertera di situs ICJ adalah keputusan Kanada, Denmark, Prancis, Jerman, Belanda, Inggris dan Irlandia utara untuk mengintervensi pada November 2023.
NABIILA AZZAHRA A.
Pilihan Editor: Media Israel: Rudal Balistik Iran Lintasi Jarak 1.200 KM untuk Pertama Kali