Kronologi Kerusuhan Prancis dan Sejarah Banlieue Tentang Kekerasan Polisi Terhadap Imigran

Reporter

Andika Dwi

Jumat, 30 Juni 2023 19:30 WIB

Mounia, ibu dari Nahel, seorang remaja berusia 17 tahun yang dibunuh oleh seorang polisi Prancis di Nanterre saat pemberhentian lalu lintas, menghadiri pawai penghormatan kepada putranya di Nanterre, pinggiran Paris, Prancis, 29 Juni 2023. REUTERS/ Sarah Meyssonnier

TEMPO.CO, Jakarta -Huru-hara pekan ini di Nanterre dan kota-kota Prancis lainnya merupakan yang terbaru menyusul puluhan tahun ketegangan dengan polisi. Kerusuhan pecah setelah seorang remaja laki-laki keturunan Aljazair ditembak mati oleh aparat ketika berhenti di tengah lalu lintas.

Ribuan petugas lantas dikerahkan dan menangkap lebih dari 100 orang pengunjuk rasa yang bentrok dengan polisi anti huru-hara.

Presiden Emmanuel Macron kemudian mengadakan pertemuan keamanan darurat untuk mengembalikan perdamaian. Tokoh terkenal Prancis dari warga keturunan imigran seperti pesepakbola Kylian Mbappe dan aktor Omar Sy turut mengutuk kebrutalan polisi.

Lantas, bagaimana peristiwa lengkap Nanterre dan sejarah kerusuhan di pinggiran kota Prancis? Melansir news.sky.com, berikut rentetan awal peristiwa kerusuhan di Prancis.

<!--more-->

Penembakan di Nanterre

Advertising
Advertising

Menurut Itay Lotem, Doktor Ilmu Prancis University of Westminster, pada Selasa, 27 Juni 2023, muncul berita tentang penembakan oleh polisi di Nanterre, kurang lebih 6 kilometer barat laut Paris.

Cuplikan video yang beredar luas di internet menunjukkan dua petugas polisi bersenjata menghentikan sebuah mobil berwarna kuning. Mereka bersandar ke jendela pengemudi, menodongkan senjata sebelum kendaraan itu berusaha menjauh.

Akan tetapi, salah satu petugas justru menembak ke arah pengemudi. Sebuah klip terpisah lalu menunjukkan mobil tersebut menabrak tiang di dekatnya. Kantor

Kejaksaan Nanterre mengonfirmasi bahwa korban penembakan adalah seorang remaja laki-laki 17 tahun bernama Nahel M.

Ia meninggal di tempat kejadian perkara dan aparat polisi yang terlibat ditahan karena diduga melakukan pembunuhan dengan sengaja.

Sang ibu pun muncul dalam sebuah video di Instagram bersama seorang aktivis anti-polisi, “Saya telah kehilangan seorang anak berusia 17 tahun. Mereka mengambil buah hati saya. Ia masih kecil, ia membutuhkan ibunya," kata dia.

“Pagi itu, ia berkata, ‘Bu, aku mencintaimu.’ Aku menjawab, ‘Hati-hati,’” ucap wanita tersebut.

Sebagai akibatnya, orang-orang turun ke jalan Nanterre untuk memprotes, membakar mobil, hingga melempar batu serta kembang api ke arah polisi.

Sejumlah bangunan negara seperti sekolah, balai kota, dan markas besar Olimpiade Paris 2024 di dekat Seine-Saint-Denis juga dibakar. Aksi itu kemudian ditanggapi dengan tembakan gas air mata.

Kekerasan menyebar ke pinggiran kota Paris lainnya (banlieue) serta kota-kota dari Toulouse hingga Dijon dan Lille.

Terdapat sekitar 40.000 petugas polisi yang dikerahkan, 5.000 di antaranya berada di Paris. Pihak kepolisian sendiri menyatakan bahwa 150 orang di lebih dari setengah wilayah Paris telah ditangkap.

“Tidak ada yang bisa membenarkan kematian seorang anak muda,” kata Macron ketika ditanya tentang insiden baru-baru ini selama kunjungan ke Marseille pada Rabu, 28 Juni 2023. Ia mengutuk tindakan polisi dan menyebutnya “tak termaafkan”.

Saat berupaya untuk mengatasi kekerasan setelah peristiwa penembakan Nahel, Macron mungkin bakal sangat sadar akan ketegangan yang mengakar kuat di baliknya.

<!--more-->

Sejarah Bermulanya Kerusuhan di Pinggiran Prancis

Istilah “banlieue” berasal dari tahun-tahun setelah Perang Dunia II, ketika pemerintah Prancis mulai menyediakan pemukiman sosial secara massal. Hal ini berujung pada pembangunan ribuan blok menara di pinggiran kota-kota Prancis pada 1945–1975.

Kawasan tersebut awalnya dirancang untuk keluarga kelas menengah ke bawah yang sehari-hari pergi bekerja.

Akan tetapi, pada 1970-an—di tengah tingginya pengangguran, ketegangan rasial setelah Perang Aljazair, dan berakhirnya kolonialisme Prancis—blok-blok menara justru makin banyak ditempati oleh komunitas imigran berpenghasilan rendah.

Tak didanai lagi oleh pemerintah selanjutnya dengan prospek perumahan dan pekerjaan yang buruk, kawasan tersebut dicap sebagai area bermasalah dan berisiko tinggi. Kejahatan kian meningkat dan anak-anak muda di jalanan sering bentrok dengan polisi yang notabene memiliki reputasi brutal dan intoleran.

Kerusuhan banlieue pertama terjadi pada 1979 di pinggiran Kota Lyon, Vaulx-en-Velin, yang pecah setelah seorang remaja lokal keturunan Afrika Utara ditangkap. Namun, yang paling menonjol terjadi pada 2005 dan berlangsung selama tiga pekan.

Rangkaian peristiwa tersebut dimulai dari Clichy-sous-Bois, daerah utara Paris, ketika dua pemuda tersengat listrik dan meninggal saat mencoba menghindari polisi. Keadaan darurat pun diumumkan setelah pengunjuk rasa membakar gedung dan membakar mobil.

Menteri Luar Negeri Prancis yang kemudian menjadi presiden kala itu, Nicolas Sarkozy, mengobarkan ketegangan dengan menyebut anak-anak muda pengunjuk rasa sebagai “sampah” yang harus disapu bersih.

Ketegangan makin diperbesar oleh partai ekstrem kanan, khususnya National Front, yang mulai mencapai kesuksesan elektoral pada awal 2000-an.

Marine Le Pen, putri pendiri National Front yang mengubah nama partai itu menjadi National Rally pada 2018, menyebut kecaman Macron terhadap polisi Rabu lalu sebagai hal yang berlebihan dan tidak bertanggung jawab.

“Biarkan polisi melakukan pekerjaan mereka,” ujar Le Pen.

Meskipun kerusuhan 2005 mengirimkan gelombang kejutan ke seluruh negeri dan memicu reformasi di banlieues, insiden kerusuhan berulang menunjukkan bahwa tidak banyak yang berubah sejak saat itu.

Ketika para pengunjuk rasa dewasa ini mengklaim bahwa mereka tidak didengarkan, mereka merujuk pada program reformasi 2005 sebagai momen tanpa perubahan.

Sementara bagi remaja-remaja keturunan imigran yang tidak merasakan peristiwa tersebut, rasa frustrasi terhadap negara telah dipupuk melalui politik era pasca-2005.

<!--more-->

Tanggapan Pemerintah

Seiring kecamannya terhadap petugas aparat, Macron juga menyebut aksi pengunjuk rasa dalam merusak kantor polisi, sekolah, hingga balai kota sama sekali tidak dapat dibenarkan.

Walau demikian, ia mengakui perlu ada momen peringatan dan rasa hormat kepada keluarga korban dan komunitas warga Prancis keturunan Aljazair, terutama saat pawai diam di Nanterre pada Kamis lalu.

Perdana Menteri Prancis, Elisabeth Borne mengatakan bahwa polisi yang terlibat dalam penembakan Nahel jelas tidak menghormati aturan keamanan negara. Di sisi lain, ia berharap agar amarah bisa segera mereda.

Sementara, Menteri Dalam Negeri Gerald Darmanin juga menggambarkan video rekaman kejadian maut itu sebagai hal yang mengejutkan. Namun menurutnya, negara tetap harus menindak tegas kerusuhan yang terjadi.

Politikus tampak ingin tampil simpatik, tetapi masih ada ketidakpercayaan yang meluas di antara masyarakat. Negara pada akhirnya seakan menjadi fasilitator utama kekerasan polisi yang berujung sebagai penyebab utama pertikaian.

Undang-undang 2017 yang disahkan setelah serangan teror 2015 di Paris telah memberi polisi lebih banyak hak untuk menggunakan kekuatan mematikan dalam menghadapi ancaman. Setidaknya 40 orang tewas akibat intervensi polisi setiap tahun menurut catatan jurnalis dan peneliti Sihame Assbague.

Seorang juru bicara kepolisian mengonfirmasi bahwa peristiwa penembakan Nahel menjadi insiden fatal ketiga yang berhubungan dengan penghentian lalu lintas sepanjang 2023. Sementara itu, angka tahun lalu adalah 13, rekor tertinggi Prancis.

Pilihan Editor: Penembakan Remaja oleh Polisi Prancis, Macron: Tidak Dapat Dimaafkan

SKY NEWS | NIA HEPPY | SYAHDI MUHARRAM (CW)

Berita terkait

Rusia Ancam Prancis Akan Buru Tentaranya Jika Dikirim ke Ukraina

22 jam lalu

Rusia Ancam Prancis Akan Buru Tentaranya Jika Dikirim ke Ukraina

Rusia menemukan banyak warga negara Prancis yang tewas di Ukraina.

Baca Selengkapnya

Jika Lolos Olimpiade Paris 2024, Timnas Indonesia Satu Grup dengan Prancis, AS, dan Selandia Baru

2 hari lalu

Jika Lolos Olimpiade Paris 2024, Timnas Indonesia Satu Grup dengan Prancis, AS, dan Selandia Baru

Timnas Indonesia akan satu grup dengan tuan rumah Prancis, Amerika Serikat, dan Selandia Baru bila lolos Olimpiade Paris 2024.

Baca Selengkapnya

Selain Istana Versailles 4 Chateau di Paris Ini Tak Kalah Megah dan Menakjubkan

3 hari lalu

Selain Istana Versailles 4 Chateau di Paris Ini Tak Kalah Megah dan Menakjubkan

Kalau sudah pernah ke Istana Versailles dan ingin mencari tempat baru, berikut ini adalah istana terbaik di dekat Paris

Baca Selengkapnya

Emmanuel Macron Mengutuk Unjuk Rasa Mahasiswa Pro-Palestian yang Menutup Paksa Gerbang Kampus

3 hari lalu

Emmanuel Macron Mengutuk Unjuk Rasa Mahasiswa Pro-Palestian yang Menutup Paksa Gerbang Kampus

Emmanuel Macron mengutuk blokade oleh demonstran pro-Palesitna yang menutup pintu-pintu gerbang masuk ke universitas.

Baca Selengkapnya

Tak Hanya India, Jepang Juga Kecewa Atas Komentar Joe Biden tentang Xenofobia

5 hari lalu

Tak Hanya India, Jepang Juga Kecewa Atas Komentar Joe Biden tentang Xenofobia

Pemerintah Jepang menanggapi komentar Presiden AS Joe Biden bahwa xenofobia menjadi faktor penghambat pertumbuhan ekonomi di Cina, India dan Jepang.

Baca Selengkapnya

Menlu India Tak Terima Komentar Joe Biden tentang Xenofobia

5 hari lalu

Menlu India Tak Terima Komentar Joe Biden tentang Xenofobia

Menteri Luar Negeri India menolak komentar Presiden AS Joe Biden bahwa xenofobia menjadi faktor yang menghambat pertumbuhan ekonomi negaranya.

Baca Selengkapnya

Legendaris! Nama Beyonce akan Masuk ke dalam Kamus Prancis Larousse

6 hari lalu

Legendaris! Nama Beyonce akan Masuk ke dalam Kamus Prancis Larousse

Nama Beyonce akan masuk ke dalam Kamus Prancis Le Petit Larousse edisi terbaru tahun ini dengan definisi sebagai penyanyi R&B dan pop Amerika.

Baca Selengkapnya

Universitas Sciences Po Prancis Tolak Tuntutan Mahasiswa untuk Putus Hubungan dengan Israel

6 hari lalu

Universitas Sciences Po Prancis Tolak Tuntutan Mahasiswa untuk Putus Hubungan dengan Israel

Universitas Sciences Po di Paris menolak tuntutan mahasiswa untuk memutus hubungan dengan universitas-universitas Israel.

Baca Selengkapnya

Champs-Elysees di Paris Bakal Disulap jadi Tempat Piknik Raksasa, Diikuti 4.000 Orang

7 hari lalu

Champs-Elysees di Paris Bakal Disulap jadi Tempat Piknik Raksasa, Diikuti 4.000 Orang

Setiap peserta akan diberikan keranjang piknik gratis yang dikemas sampai penuh oleh sejumlah pemilik restoran ikonik di jalanan Kota Paris itu.

Baca Selengkapnya

Imigran Laos Pengidap Kanker Menangi Lotere Jackpot AS Sebesar Rp21 Triliun

9 hari lalu

Imigran Laos Pengidap Kanker Menangi Lotere Jackpot AS Sebesar Rp21 Triliun

Pemenang lotere jackpot bersejarah Powerball Amerika Serikat senilai lebih dari Rp21 triliun adalah seorang imigran dari Laos pengidap kanker

Baca Selengkapnya