Profil Abdalla Hamdok, Eks PM yang Ingatkan Potensi Perang Sipil dalam Konflik Sudan
Reporter
Tempo.co
Editor
Naufal Ridhwan
Selasa, 2 Mei 2023 12:46 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Mantan Perdana Menteri Sudan Abdalla Hamdok pada Sabtu, 29 April 2023, mengutarakan kekhawatirannya kalau konflik Sudan bisa memicu terjadinya sebuah perang sipil, yang disebutnya bisa menjadi mimpi buruk bagi dunia. Sudan adalah sebuah negara yang terletak di timur laut benua Afrika.
“Tuhan melarang Sudan mencapai titik perang sipil,” kata Hamdok dalam sebuah acara di Ibu Kota Nairobi, Kenya, Sabtu, 29 April 2023.
Hamdok sangat yakin perang sipil di Suriah, Yaman dan Libya hanyalah perang kecil jika dibanding ketakutan-ketakutan yang mungkin bakal meletup di Sudan. Jika terjadi perang sipil di Sudan, maka itu akan menjadi sebuah mimpi buruk bagi dunia.
Hamdok menambahkan dia melihat konflik di Sudan saat ini tidak masuk akal. Tidak ada pihak yang bakal keluar sebagai pemenang dalam konflik ini sehingga dia pun berharap konflik segera dihentikan.
Lalu, siapa sebenarnya Abdalla Hamdok?<!--more-->
Profil Abdalla Hamdok, Perdana Menteri Sudan dari Sipil
Dilansir dari Al Jazeera, Hamdok lahir pada tahun 1956 di provinsi Kordofan tengah selatan, Hamdok memiliki lebih dari 30 tahun pengalaman sebagai seorang ekonom dan analis kebijakan senior yang mengkhususkan diri dalam pengembangan di seluruh Afrika. Ia memperoleh gelar sarjana sains dari Universitas Khartoum dan gelar doktor dalam bidang ekonomi dari Universitas Manchester di Inggris.
Mulai dari tahun 1981 hingga 1987, ia menjabat sebagai pejabat senior di Kementerian Keuangan dan Perencanaan Ekonomi Sudan, sebelum menjabat dalam beberapa posisi kepemimpinan di lembaga seperti Bank Pembangunan Afrika dan Organisasi Perburuhan Internasional.
Terakhir, ia menjabat sebagai wakil sekretaris eksekutif Komisi Ekonomi PBB untuk Afrika, posisi yang dipegangnya sejak November 2011.
Hamdok muncul sebagai pemimpin sipil Sudan setelah gelombang protes yang dipimpin oleh kaum muda menggulingkan penguasa lama Omar al-Bashir, yang ditangkap oleh militer pada April 2019. Hamdok berada di luar Sudan dan tidak terlibat langsung dalam gerakan protes, tetapi penunjukan teknokrat ini disambut baik oleh sebagian besar penduduk dan masyarakat internasional.
Tantangannya sangat besar, mulai dari krisis politik dan ekonomi, kelangkaan barang-barang pokok, dan kebutuhan untuk membangun kembali sektor perbankan yang hampir kolaps. Hamdok mengandalkan pengalamannya dalam berbagai inisiatif perdamaian di Afrika ketika Sudan menandatangani kesepakatan dengan kelompok pemberontak pada Oktober 2020 untuk mengakhiri ketidakstabilan di wilayah Darfur, Kordofan, dan Blue Nile.
Mantan Perdana Menteri Hamdok didongkel dari kekuasaannya oleh Panglima Militer Abdel Fattah al-Burhan pada Oktober 2021. Sudan sedang berada dalam masa transisi yang rapuh untuk menuju pemerintahan yang demokratis.<!--more-->
Korban Konflik Sudan
Sekitar 500 warga sipil diperkirakan tewas sejak konflik meletup pada 15 April 2023, di mana konflik telah membuat turbulensi politik. Konflik di Sudan terjadi antara Angkatan Bersenjata Sudan yang dipimpin Abdel Fattah al-Burhan dengan kelompok paramiliter Rapid Support Forces (RSF) pimpinan Mohamed Hamdan Daglo. Perselisihan utama antara kedua belah pihak perihal rencana integrasi RSF untuk masuk ke Angkatan Darat Sudan.
Saat ini kedua belah pihak bersengketa sudah setuju untuk gencatan senjata, namun sejauh ini belum ada tindakan tegas yang diambil karena kekerasan masih berlanjut di Ibu Kota Khartoum. Konflik di Sudan dilaporkan sudah meluas hingga membuat listrik padam, bahan makanan dan air berkurang. PBB memperkirakan sekitar 75 ribu orang kehilangan tempat tinggal dampak dari kekerasan ini dan WNA yang tinggal di Sudan pun berbondong-bondong meninggalkan Sudan.
SUCI SEKARWATI | NAUFAL RIDHWAN
Pilihan Editor: Sebut Pengungsi Konflik Sudan Capai 800 Ribu, PBB: Krisis Kemanusiaan Jadi Bencana Besar