Cina Ngotot dengan Kebijakan 'Nol Covid', Ini Sebabnya

Reporter

Tempo.co

Editor

Yudono Yanuar

Kamis, 27 Januari 2022 15:36 WIB

Pekerja menggunakan pakaian pelindung atau APD di pintu masuk ke area perumahan universitas yang di lockdown setelah penyebaran virus COVID-19 di Xian, provinsi Shaanxi, Cina 20 Desember 2021. Xian telah memulai beberapa kali pengujian di seluruh kota untuk melacak penularan virus Covid-19. China Daily via REUTERS

TEMPO.CO, Jakarta - Pemerintah Cina tetap ngotot menerapkan kebijakan "nol-Covid" meskipun harus berseberangan dengan seluruh dunia dan bisa menyebabkan pukulan lebih berat terhadap ekonomi.

Cina khawatir penerapan kebijakan "hidup dengan Covid" seperti dilakukan di negara lain akan mengganggu kemampuan sistem perawatan kesehatan untuk mengatasi Covid-19 dan beradaptasi dengan jenis baru.

"Untuk negara besar dengan populasi 1,4 miliar, harus dikatakan bahwa efektivitas biaya pencegahan dan pengendalian negara kami sangat tinggi," kata Liang Wannian, kepala kelompok ahli pencegahan epidemi di Komisi Kesehatan Nasional Cina, Sabtu, 22 Januari 2022.

Pakar medis Cina sebelumnya yakin bahwa tingkat vaksinasi yang lebih tinggi pada akhirnya akan memungkinkan Cina untuk melonggarkan aturan ketat pergerakan masyarakat. Namun kemunculan varian Omicron yang sangat menular memupus harapan tersebut.

Advertising
Advertising

Direktur pelaksana Dana Moneter Internasional
Kristalina Georgieva, meminta Cina "meninjau kembali" pendekatannya, karena menjadi "beban" bagi ekonomi Cina dan global.

Tetapi Cina khawatir biaya untuk menurunkan pertahanannya dapat lebih tinggi, terutama dengan sistem perawatan kesehatan yang tertinggal.

“Dengan populasi yang besar dan kepadatan yang tinggi, pemerintah Cina sudah sepatutnya mengkhawatirkan dampak penyebaran virus tersebut,” kata Jaya Dantas, profesor kesehatan internasional di Curtin School of Population Health di Perth, Australia.

Cina memiliki 4,7 juta perawat pada akhir 2020, atau 3,35 per 1.000 orang. Bandingkan dengan Amerika Serikat, yang memiliki 3 juta atau sekitar 9 per 1.000 populasi.

Cina juga mewaspadai risiko varian baru, terutama karena menolak mengimpor vaksin asing. Studi menunjukkan vaksin Cina kurang efektif melawan Omicron dan belum meluncurkan versi mRNA-nya sendiri.

Wu Zunyou, kepala ahli epidemiologi di Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit China, memperingatkan Omicron yang "berbahaya" masih dapat menyebabkan peningkatan jumlah kematian bahkan jika terbukti kurang mematikan, dan Cina harus tetap bersabar.

"Kapasitas dan standar medis Cina tidak sebaik Inggris atau Amerika Serikat, tetapi hasil pencegahan dan pengendalian virus corona Cina jauh lebih unggul," katanya dalam wawancara akhir pekan dengan Beijing News.

Cina telah meningkatkan peringatan kesehatannya, mendesak warga untuk mengabaikan klaim bahwa Omicron tidak lebih serius daripada 'flu dan tetap waspada".

Selanjutnya Ekonomi tetap tumbuh

<!--more-->

Media pemerintah Cina Global Times, Rabu, mengecam media luar negeri karena "mengejek" kebijakan Beijing, dengan mengatakan negara itu terbukti telah menyelamatkan nyawa.

Kritik asing "didasarkan pada optimisme yang tidak berdasar atau prematur mengenai berakhirnya pandemi" tulis media tersebut.

Para ahli di Cina dan luar negeri juga meragukan harapan bahwa Omicron mewakili tahap akhir pandemi.

"SARS-CoV-2 tidak akan secara ajaib berubah menjadi infeksi endemik seperti malaria di mana tingkatnya tetap konstan untuk waktu yang lama," kata Raina MacIntyre, kepala Program Penelitian Biosekuriti di Institut Kirby Universitas New South Wales.

"Itu akan terus menyebabkan gelombang epidemi, didorong oleh berkurangnya kekebalan vaksin, varian baru, kelompok warga yang tidak divaksinasi, kelahiran dan migrasi," katanya kepada Reuters.

Ekonomi Cina diperkirakan akan melambat sebagai akibat dari gangguan pasokan terkait Covid-19, sementara penguncian untuk meredam wabah domestik membebani perjalanan dan konsumsi.

Pendekatan "nol-Covid" Hong Kong telah membuat kota itu tidak sejalan dengan pusat keuangan global lainnya dan menghancurkan ekonominya.

Namun, ekonomi Cina tetap tangguh, dengan pertumbuhan PDB sebesar 8,1 persen tahun lalu, jauh melebihi ekspektasi.

MacIntyre dari Kirby Institute mengatakan itu bukan "pilihan biner" antara membuka dan tetap terisolasi, menambahkan "tidak perlu menyerah pada virus, seperti yang dilakukan Australia saat ini."

Cina masih bisa keluar dari krisis di posisi terkuat, terutama jika Covid menyebabkan kerusakan kognitif yang meluas, kerusakan organ dan kondisi jangka panjang lainnya di negara lain, katanya.

“Jika Cina bisa mengendalikan sebagian besar virus, populasi mereka akan bugar dan sehat di masa depan, sementara Amerika Serikat dan Eropa akan mengeluh di bawah beban penyakit kronis yang belum pernah terjadi sebelumnya.”

REUTERS

Berita terkait

Gejala Baru pada Pasien DBD yang Dialami Penyintas COVID-19

5 jam lalu

Gejala Baru pada Pasien DBD yang Dialami Penyintas COVID-19

Kemenkes mendapat beberapa laporan yang menunjukkan perubahan gejala pada penderita DBD pascapandemi COVID-19. Apa saja?

Baca Selengkapnya

Houthi Tawarkan Pendidikan bagi Mahasiswa AS yang Diskors karena Demo Pro-Palestina

5 jam lalu

Houthi Tawarkan Pendidikan bagi Mahasiswa AS yang Diskors karena Demo Pro-Palestina

Kelompok Houthi di Yaman menawarkan tempat melanjutkan studi bagi para mahasiswa AS yang diskors karena melakukan protes pro-Palestina.

Baca Selengkapnya

Band Metal As I Lay Dying Siap Gebrak Panggung Hammersonic 2024

6 jam lalu

Band Metal As I Lay Dying Siap Gebrak Panggung Hammersonic 2024

Band rock asal California, As I Lay Dying akan turut mengguncang panggung Hammersonic 2024 pada Ahad, 5 Mei 2024. Berikut profil band metal itu.

Baca Selengkapnya

Demo Dukung Palestina di Kampus AS Diberangus Polisi, PM Bangladesh: Sesuai Demokrasi?

9 jam lalu

Demo Dukung Palestina di Kampus AS Diberangus Polisi, PM Bangladesh: Sesuai Demokrasi?

Perdana Menteri Bangladesh Sheikh Hasina mengkritik pemerintah Amerika Serikat atas penggerebekan terhadap protes mahasiswa pro-Palestina

Baca Selengkapnya

Badan Mata-mata Seoul Tuding Korea Utara Rencanakan Serangan terhadap Kedutaan Besar

10 jam lalu

Badan Mata-mata Seoul Tuding Korea Utara Rencanakan Serangan terhadap Kedutaan Besar

Badan mata-mata Korea Selatan menuding Korea Utara sedang merencanakan serangan "teroris" yang menargetkan pejabat dan warga Seoul di luar negeri.

Baca Selengkapnya

Selain AstraZeneca, Ini Daftar Vaksin Covid-19 yang Pernah Dipakai Indonesia

11 jam lalu

Selain AstraZeneca, Ini Daftar Vaksin Covid-19 yang Pernah Dipakai Indonesia

Selain AstraZeneca, ini deretan vaksin Covid-19 yang pernah digunakan di Indonesia

Baca Selengkapnya

Biden Soal Bentrok Mahasiswa Pro-Palestina: Boleh Protes, Asal Jangan Bikin Kekacauan

13 jam lalu

Biden Soal Bentrok Mahasiswa Pro-Palestina: Boleh Protes, Asal Jangan Bikin Kekacauan

Presiden AS Joe Biden mengkritik gelombang unjuk rasa pro-Palestina yang berlangsung di berbagai kampus di seluruh negeri.

Baca Selengkapnya

Demonstran Pro-Palestina dan Polisi Bentrok di Kampus AS, Ratusan Mahasiswa Ditangkap

16 jam lalu

Demonstran Pro-Palestina dan Polisi Bentrok di Kampus AS, Ratusan Mahasiswa Ditangkap

Unjuk rasa pro-Palestina di kampus Amerika Serikat berujung rusuh antara polisi dan demonstran.

Baca Selengkapnya

AS Akui Salah, Serangan Drone di Suriah Bukan Bunuh Pemimpin Al Qaeda Tapi Petani

17 jam lalu

AS Akui Salah, Serangan Drone di Suriah Bukan Bunuh Pemimpin Al Qaeda Tapi Petani

Amerika Serikat mengakui salah telah membunuh warga sipil saat menargetkan pemimpin Al Qaeda di Suriah dalam serangan drone.

Baca Selengkapnya

Heboh Efek Samping AstraZeneca, Pernah Difatwa Haram MUI Karena Kandungan Babi

17 jam lalu

Heboh Efek Samping AstraZeneca, Pernah Difatwa Haram MUI Karena Kandungan Babi

MUI sempat mengharamkan vaksin AstraZeneca. Namun dibolehkan jika situasi darurat.

Baca Selengkapnya