Top 3 Dunia: Erdogan Soal Invasi Rusia, Biksu India Serukan Bunuh Muslim
Reporter
Tempo.co
Editor
Dewi Rina Cahyani
Kamis, 20 Januari 2022 06:04 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Top 3 Dunia kemarin dimulai dari Presiden Turki Tayyip Erdogan yang menepis kekhawatiran bahwa Rusia akan menginvasi Ukraina. Ia mengatakan hal itu tidak realistis.
Berita kedua adalah Cina yang menjemput paksa warganya yang tinggal di luar negeri. Terakhir yaitu biksu India yang menyerukan pembunuhan massal terhadap umat Muslim. Berikut berita selengkapnya:
1. Presiden Erdogan: Kekhawatiran Rusia Invasi ke Ukraina Tak Realistis
Presiden Turki Tayyip Erdogan mengatakan kekhawatiran Rusia melakukan invasi ke Ukraina tidak realistis dan bahwa ia perlu membahas krisis itu dengan Presiden Rusia Vladimir Putin.
Barat menyuarakan kekhawatiran akan kemungkinan invasi Rusia ke Ukraina karena puluhan ribu tentara Rusia telah berkumpul di dekat perbatasan. Rusia membantah tudingan tersebut.
"Saya tidak melihat invasi Rusia ke Ukraina sebagai pendekatan yang realistis karena Ukraina bukan negara biasa. Ukraina adalah negara yang kuat," kata Erdogan kepada wartawan dalam perjalanan ke Albania pada Senin, 17 Januari 2022, seperti dikutip NTV.
"Jika Rusia mengambil langkah itu, ia perlu mempertimbangkan situasi di seluruh dunia dan dunianya sendiri," katanya, dan menambahkan bahwa kawasan itu tidak dapat menerima perang lagi dan bahwa langkah seperti itu "tidak benar".
"Tentu saja, kita perlu meletakkan masalah ini di atas meja dengan Tuan Putin dan mendiskusikannya."
Turki, yang juga anggota NATO, memiliki hubungan baik dengan Kyiv dan Moskow, tetapi menentang kebijakan Rusia di Suriah dan Libya, serta aneksasi semenanjung Krimea pada tahun 2014.
Sementara menjalin kerja sama dengan Rusia di bidang pertahanan dan energi, Ankara juga telah menjual pesawat tak berawak canggih ke Ukraina, membuat marah Moskow.
Pada bulan November, Erdogan mengatakan Turki siap menjadi mediator dalam krisis, yang disambut baik oleh Kyiv tetapi ditolak Moskow. Ankara juga mengatakan sanksi terhadap Rusia tidak akan menjadi solusi untuk masalah ini.
<!--more-->
2. Cina Dilaporkan Jemput Paksa 10 Ribu Warganya dari Luar Negeri
Beijing telah memaksa hampir 10 ribu warga negara Cina di luar negeri untuk kembali sejak 2014 dengan menggunakan cara-cara paksa di luar sistem peradilan. Sebanyak 2.500 orang diantaranya ditangkap selama pandemi COVID-19.
Kelompok hak asasi manusia, Safeguard Defenders, memperkirakan dalam laporannya yang diterbitkan pada Selasa bahwa repatriasi yang berlanjut sekarang berjumlah lebih dari 10 orang. Ini terjadi sejak Beijing meluncurkan operasi Fox Hunt pada 2014, diikuti oleh Sky Net pada 2015.
Menurut kelompok asal Spanyol itu, orang-orang yang ditargetkan ditekan untuk kembali ke Cina di luar kehendak mereka dengan kombinasi metode non-yudisial. Termasuk diantaranya dengan metode penculikan, pelecehan dan intimidasi.
"Dengan diaspora Cina tumbuh pada tingkat yang semakin cepat karena semakin banyak orang berusaha meninggalkan Cina, Beijing semakin termotivasi untuk memperluas kekuatan pasukan keamanannya di luar negeri," kata laporan itu seperti dilansir France24 pada Rabu 19 Januari 2022.
Operasi Fox Hunt diluncurkan pada 2014 untuk melacak warga Cina yang dicari karena kejahatan ekonomi. Sementara Operasi Sky Net yang lebih besar dimulai pada 2015 dan kemudian digabungkan dengan Fox Hunt.
Pada 2015, penjual buku dan warga negara Swedia Gui Minhai diduga diculik dari Thailand sebelum kemudian muncul kembali dalam tahanan Cina. Dua tahun kemudian, miliarder Xiao Jianhua menghilang dari sebuah hotel di Hong Kong dan diyakini masih ditahan di Cina.
<!--more-->
3. Biksu India Ini Serukan Pembunuhan Massal terhadap Muslim, Ditangkap Polisi
Pihak berwenang India menangkap seorang biksu yang didakwa menghasut umat Hindu agar membunuh umat Muslim. Ia ditangkap setelah menyerukan pembunuhan massal atau genosida terhadap Muslim India pada pertemuan pendukung sayap kanan.
Menurut perwira polisi senior Girish Kumar mengatakan biksu itu bernama Yati Narsinghanand Giri. Ia adalah seorang pendukung vokal nasionalis sayap kanan yang juga mengepalai sebuah biara Hindu.
Giri awalnya ditangkap pada hari Selasa pekan lalu atas tuduhan bahwa ia membuat pernyataan yang menghina perempuan. Dia muncul keesokan harinya di pengadilan di kota Haridwar. Ia pun dijebloskan ke penjara selama 14 hari karena pidato kebencian terhadap umat Muslim dan menyerukan kekerasan terhadap mereka.
Girish Kumar mengatakan Giri kerap melakukan pelanggaran berulang. Ia secara resmi didakwa pada Senin lalu karena mengobarkan permusuhan antara kelompok yang berbeda atas dasar agama" Dia terancam hukuman penjara lima tahun.
Pada Desember, Giri dan para pemimpin agama lainnya meminta umat Hindu mempersenjatai diri untuk melakukan pembunuhan massal terhadap Muslim selama pertemuan di Haridwar, sebuah kota suci di negara bagian Uttarakhand utara. Dia adalah orang kedua yang ditangkap dalam kasus tersebut setelah Mahkamah Agung India turun tangan pekan lalu.
Uttarakhand dikuasai oleh Partai Nasionalis Hindu Bharatiya Janata Party (BJP) yang dipimpin Perdana Menteri Narendra Modi. Patai BJP menang pada pemilu 2014 dan 2019. Kemenangan ini menyebabkan lonjakan serangan terhadap Muslim dan minoritas lainnya.
Muslim di India terdiri hampir 14 persen dari 1,4 miliar penduduk. Sebagian besar agama di India adalah Hindu.
Dalam konferensi selama tiga hari, Giri disebut membantu mengorganisir Dharam Sansad atau Parlemen Agama. Dalam pertemuan tertutup itu terdapat seruan paling eksplisit untuk kekerasan terhadap Muslim.
Video dalam konferensi tersebut menunjukkan beberapa biksu Hindu, beberapa di antaranya memiliki hubungan dekat dengan partai penguasa Modi, mengatakan umat Hindu harus membunuh Muslim.
"Jika 100 dari kita siap untuk membunuh dua juta dari mereka, maka kita akan menang dan menjadikan India sebagai negara Hindu," kata Shakun Pooja Pandey, seorang pemimpin nasionalis Hindu. Seruannya untuk pembantaian disambut dengan tepuk tangan dari para hadirin.
Banyak yang mempertanyakan sikap diam pemerintah Modi. Pekan lalu, mahasiswa dan fakultas di Institut Manajemen India, salah satu sekolah bisnis paling bergengsi di India, mengirimkan surat kepada Modi. Mereka menulis kebisuan Modi memperkuat kebencian dan mengancam persatuan serta integritas negara.
Partai berkuasa Modi telah menghadapi kritik keras atas meningkatnya serangan terhadap Muslim dalam beberapa tahun terakhir.
REUTERS | FRANCE24 | AL JAZEERA