Reputasi Yasser Arafat Selama Lima Dekade Memimpin Palestina
Reporter
Tempo.co
Editor
Endri Kurniawati
Kamis, 11 November 2021 21:11 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Pemimpin Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) Yasser Arafat yang meninggal 11 November 2004 mendominasi lanskap politik Palestina selama lima dekade dan meninggalkan sejumlah reputasi.
Laman biography.com menulis Yasser Arafat lahir di Kairo, Mesir, pada 1929. Ia dikirim untuk tinggal bersama paman dari pihak ibunya di Yerusalem ketika ibunya meninggal pada 1933. Setelah menghabiskan empat tahun di Yerusalem, Arafat kembali ke Kairo bersama ayahnya. Di Kairo, saat masih remaja, Arafat mulai menyelundupkan senjata ke Palestina untuk digunakan melawan orang-orang Yahudi dan Inggris.
Arafat meninggalkan Universitas Faud I (kini Universitas Kairo) untuk berperang melawan orang-orang Yahudi selama Perang Arab-Israel 1948, yang mengakibatkan berdirinya negara Israel ketika orang-orang Yahudi menang.
Menurut theguardian.com, warisan Arafat yang akan terus dikenang adalah memimpin orang-orang Palestina keluar dari kehancuran materi, politik dan moral dari Nakba 1948, bencana yang menyebabkan lebih dari 700 ribu orang Palestina kehilangan rumah mereka di tempat yang kemudian menjadi wilayah Israel. Pendukung Arafat akan mengklaim bahwa tanpa perjuangan bersenjata, masalah Palestina tidak akan lebih dari masalah pengungsian.
Setelah kematian Arafat, penggantinya Mahmoud Abbas berusaha menjauhkan diri dari cara-cara ini. Sebagai kawan dan rekan lama Arafat, Abbas mewarisi banyak legitimasinya dari tahun-tahun perjuangan bersama dan dedikasi mereka untuk tujuan itu. Tapi dia mengambil pendekatan yang berbeda. Upaya pembangunan negara dan komitmen teguh terhadap negosiasi dan diplomasi telah menggantikan etos revolusioner Arafat.
Pada 1958, Arafat dan beberapa rekannya mendirikan Al-Fatah, sebuah jaringan bawah tanah yang menganjurkan perlawanan bersenjata terhadap Israel. Pada pertengahan 1960-an, kelompok itu vakum sehingga Arafat meninggalkan Kuwait, menjadi revolusioner penuh waktu dan melancarkan serangan ke Israel.
Arafat mendirikan PLO pada 1964, sebuah organisasi yang menyatukan sejumlah kelompok yang memperjuangkan negara Palestina yang merdeka. Tiga tahun kemudian, Perang Enam Hari meletus, dengan Israel sekali lagi diadu dengan negara-negara Arab. Perang dimenangkan Israel, dan setelahnya Fatah Arafat menguasai PLO ketika ia menjadi ketua komite eksekutif PLO pada 1969.<!--more-->
Setelah kalah perang, Arafat memindahkan operasi ke Yordania, dan terus mengembangkan PLO. Setelah diusir oleh Raja Hussein, Arafat memindahkan PLO ke Libanon. Arafat menjadi dalang perlawanan terhadap Israel.
PLO diusir dari Lebanon pada awal 1980-an. Arafat kemudian meluncurkan gerakan protes intifada terhadap pendudukan Israel di Tepi Barat dan Jalur Gaza. Intifada ditandai dengan kekerasan terus-menerus di jalan-jalan dengan pembalasan Israel.
Pada 1988 Arafat memberikan pidato di PBB yang menyatakan bahwa semua pihak yang terlibat dapat hidup bersama dalam damai, menandai perubahan bagi Arafat dan PLO. Proses perdamaian yang dihasilkan mengarah pada Persetujuan Oslo tahun 1993, yang memungkinkan pemerintahan Palestina yang merdeka dan pemilihan umum di wilayah Palestina dengan Arafat yang terpilih sebagai presiden.
Arafat dan Shimon Peres dari Israel dan Yitzhak Rabin pada 1994 menerima Hadiah Nobel Perdamaian. Tahun berikutnya mereka menandatangani perjanjian Oslo II, yang meletakkan dasar bagi serangkaian perjanjian damai antara PLO dan Israel, termasuk Protokol Hebron pada 1997, Memorandum Sungai Wye pada 1998, Kesepakatan Camp David pada 2000 dan “peta jalan untuk perdamaian” pada 2002.
Baca: Suha Arafat, Abu Ammar, dan Pernikahan yang Mengejutkan
HENDRIK KHOIRUL MUHID | EK