TEMPO.CO, Jakarta - Organisasi HAM Amnesty Internasional mendesak adanya investigasi perihal catatan hitam karir Presiden Iran terpilih Ebrahim Raisi. Menurut Sekjen Amnesty International Agnes Callamard, Ebrahim Raisi terlibat dalam eksekusi massal pada 33 tahun lalu yang hingga sekarang tidak pernah diakui oleh Iran.
Menurut laporan Amnesty International, Raisi sudah mengetok palu eksekusi mati untuk kurang lebih 5000 orang. Mayoritas di antaranya adalah tahanan politik yang dieksekusi di tahun 1988. Menurut kabar yang beredar, mereka yang mati karena vonis dari Raisi dimakaman di kuburan massal tersembunyi dan tanpa tanda.
Pemerintah Amerika sudah memberikan sanksi kepada Raisi atas kejahatan tersebut. Hal itu menjadikannya sebagai Presiden Iran pertama yang sudah dikenai sanksi sebelum menjabat. Walau begitu, Raisi tetap tak tersentuh soal eksekusi ribuan tahanan politik terkait.
"Kami akan terus mendesak investigasi terhadap Ebrahim Raisi atas keterlibatannya dalam kejahatan-kejahatan (kemanusiaan) di masa lalu dan sekarang," ujar Callamard, dikutip dari kantor berita Reuters, Sabtu, 19 Juni 2021.
Pernyataan senada disampaikan oleh organisasi HAM yang berbasis di New York, Humans Right Watch HRW). Dalam keterangan persnya, mereka mengatakan kemenangan Raisi adalah preseden buruk dan bisa dihindari misalkan ada investigasi perihal kejahatan kemanusiaan yang ia lakukan.
"Sebagai kepala yudikatif Iran, Raisi mengawasi langsung sejumlah kejahatan paling kejam dalam sejarah Iran. Kejahatan-kejahatan itu perlu diinvestigasi dan akuntabilitas, bukannya direspon dengan pemilu," ujar Deputi Direktur HRW TImur Tengah, Michael Page.
Diberitakan sebelumnya, Ebrahim Raisi menang telak dari kedua pesaingnya, Mohsen Rezaei dan Abdolnaser Hemmati, di Pemilu Iran. Dari 28,6 juta suara yang masuk, Raisi berhasil mengumpulkan 17,8 juta suara.