TEMPO Interaktif, Sydney: Kepala International Centre for Political Violence and Terrorism di Singapura, Rohan Gunaratna, menilai komentar para pelaku bom Bali 2002 usai salat Idul Fitri lalu merupakan upaya untuk menghasut para pengikutnya melakukan serangan. Akan tetapi, Gunaratna menganggap para pengikut pelaku bom Bali tersebut tidak memiliki kemampuan melakukan pembalasan.
"Saya rasa dengan komentar tersebut, para pelaku bom itu berusaha mengajak dan menghasut JI (Jemaah Islamiyah) dan kelompok yang sealiran untuk menyerang," ujar Gunaratna seperti dikutip laman WAToday, Jumat (3/10). "Akibatnya, saya rasa keinginan para pengikut mereka untuk menyerang makin bertambah. Tetapi mereka tidak memiliki kemampuan."
Gunaratna juga memperingatkan agar media massa jangan terjebak menyebarkan propaganda dari pelaku bom tersebut juga menebarkan ideologi mereka. Usai salat Idul Fitri lalu, Amrozi, Mukhlas, dan Imam Samudra mengomentari rencana eksekusi mati terhadap mereka.
"Komentar para pelaku bom menimbulkan kesan bahwa perjuangan mereka harus dilanjutkan dan mereka belum kalah. Padahal faktanya kondisi JI sangat parah," ujar Gunaratna. "Satu-satunya alasan mengapa JI masih hidup adalah karena pemerintah Indonesia tidak mengambil langkah tepat dengan memasukkan mereka dalam daftar hitam."
Menurut Gunaratna, jika Indonesia serius memberantas terorisme dan melawan ideologi JI, pemerintah Indonesia tidak punya pilihan lain kecuali memasukkan JI dalam daftar hitam. "Itu akan mencegah media massa menjadi medium para teroris untuk publisitas," ujar Gunaratna.
Sementara itu, analis dari International Crisis Group, Sidney Jones, menganggap kemungkinan terjadinya serangan dengan skala seperti bom Bali sudah sangat kecil.
"Saya rasa para pelaku bom Bali ingin menganggap bahwa akan ada pembalasan setelah mereka dieksekusi mati. Menurut saya, kemampuan kelompok manapun untuk melakukan pembalasan yang serius sangat kecil," ujar Jones dalam surat elektronik dari Amerika Serikat.
WA Today| Kodrat Setiawan