Sejak penyambutan olimpiade, untuk menghasilkan udara bersih pemerintah kota menghentikan kegiatan produksi pabrik-pabrik dan pembangunan gedung. Hal ini setidaknya berpengaruh kepada 2000 pekerja yang biasanya memadati jalan raya setiap paginya, tidak lagi keluar rumah di Kota Beijing.
Namun, kondisi yang mendorong ke arah ramah lingkungan ini ternyata berbanding terbalik dengan laju pertumbuhan eknomi yang saat ini juga sedang digenjot pemerintah Cina. Ekonomis Asia dari Credit Suisse Group AG Hngkong Tao Dong menyatakan bahwa isu ramah lingkungan ini hanyalah sementara saja. “Kita tidak akan bisa mengharapkan orang meninggakan mobil-mobil mereka di rumah ketika mereka akan bekerja.”
China, yang menduduki peringkat empat pertumbuhan ekonominya di dunia, harus rela kehilangan tiga persen atau sekitar empat triliun Yuan atau 585,3 miliar dolar AS saat pembangunan Kota Beijing dan sekitarnya hanya dalam waktu dua bulan.
Lambatnya pertumbuhan ekonomi ini juga diperparah dengan keinginan Presiden Cina Hu Jintao yang tidak ingin Beijing tampil mengecewakan sebagai tuan rumah Olimpiade. Hu memilih untuk memperlambat pembangnan di berbagai sektor ekonomi untuk mendapatkan kondisi ingkungan yang ramah lingkungan. Secara ekonomi, Hu lebih memprioritaskan untuk mengontrol kecepatan pertumbuhan dan laju inflasi.
Hal ini tak luput dari tekanan Presiden International Olympic Committee Jacques Rogge yang menyatakan akan menunda berbagai even olahraga yang digelar di luar ruangan, seperti lari maraton dan balap sepeda. “Panas dan polusi akan menghambat prestasi yang akan dicapai para atlet.” ujarnya.
Dari Indeks polusi, Kota Beijing telah mencapai 30 persen lebih rendah dibandingkan Agustus 2007. Begitupula dengan polusi udara yang rata-rata menurun sampai 40 persen, sedangkan polusi yang berasal dari kendaraan bermotor mencapai 61 persen.
Akankah Beijing mempertahankan kenyamanan lingkungan kota atau kembali mengejar keuntungan ekonomi setelah olimpiade berakhir? Kita lihat saja.
AP|Bloomberg| Nur Haryanto