3 Hal Soal Rencana Inggris Brexit dari Uni Eropa
Senin, 30 September 2019 13:07 WIB
TEMPO.CO, London – Perdana Menteri Inggris, Boris Johnson, memikul tugas besar memimpin negaranya untuk melewati proses keluar dari Uni Eropa atau Brexit pada 31 Oktober 2019.
Ini merupakan hasil dari referendum pada 23 Juni 2016, yang menunjukkan 51.9 persen suara warga ingin keluar dari UE.
Saat itu, hanya 72 persen warga yang mengikuti jajak pendapat ini, yang digelar pada masa pemerintahan PM David Cameron.
“Inggris bisa lebih cepat meninggalkan UE jika bisa meratifikasi perjanjian dengan UE sebelum tenggat 31 Oktober 2019,” begitu dilansir media Irishtimes pada Senin, 30 September 2019.
Berikut ini beberapa hal mengenai Brexit:
Boris Johnson
Dia menggantikan PM Theresa May pada Juli 2019 setelah pendulunya itu gagal mencari jalan keluar dari kebuntuan soal isi perjanjian ekonomi dengan UE. Kesepakatan yang dibuatnya dengan EU ditolak tiga kali di parlemen Inggris.
Ubah Perjanjian
Johnson menginginkan adanya perubahan perjanjian dari kesepakatan yang telah dibuat pendulunya dengan UE. Dia tidak menginginkan adanya pos pemeriksaan perbatasan. Namun UE dan Irlandia menginginkan ketentuan itu tetap ada. Johnson menyebut adanya ketentuan itu sebagai tidak demokratis dan meyakini klausul itu tidak diperlukan.
Tanpa Kesepakatan
Jika Inggris meninggalkan UE tanpa kesepakatan maka akan terjadi kekacauan perdagangan karena hambatan perdagangan akan muncul. Ini akan menghambat kerja sama dalam urusan nuklir, aviasi hingga farmasi.
Brussel dan Dublin mengantisipasi ini dengan membicarakan soal pengelolaan perbatasan antara Irlandia dan Irlandia Utara agar bisa dikelola.
Sedangkan Inggris dan UE telah menyepakati sejumlah hal mengenai pola hubungan di masa depan. Namun, detilnya akan dibahas setelah Inggris keluar atau Brexit dari UE. Draf ini telah diajukan ke parlemen Inggris dan tidak mendapat kesepakatan. Kedua pihak juga membahas adanya masa transisi untuk membahas sejumlah hal yang menyangkut kepentingan kedua pihak hingga 2022.