Pelarian Korea Utara Meninggal Kelaparan di Korea Selatan
Reporter
Non Koresponden
Editor
Eka Yudha Saputra
Minggu, 22 September 2019 19:04 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Seorang perempuan pelarian Korea Utara dan putranya diduga meninggal kelaparan di salah apartemen kecil di Korea Selatan.
Ratusan orang turun ke jalan di Kota Seoul pada Sabtu untuk mengenang korban dan menggelar aksi teatrikal membawa dua peti mati ke kantor kepresidenan Korea Selatan, Blue House.
"Bawa kembali Sung-ok kita!" mereka meneriakkan dan menuntut permintaan maaf dari Presiden Moon Jae-in, karena dianggap mengabaikan kesejahteraan para eksil Korut, dikutip dari CNN, 22 September 2019.
Seorang pelarian Korea Utara Han Sung-ok, 42 tahun, dan putranya yang berusia enam tahun Kim Dong-jin ditemukan tewas pada akhir Juli. Mereka ditemukan setelah seorang inspektur meteran air datang memeriksa karena Han menunggak tagihannya selama berbulan-bulan, dan melihat bau busuk datang dari apartemen, menurut polisi Korea Selatan.
Inspektur air memanggil polisi, yang menemukan dua mayat yang sudah membusuk dan sebuah kulkas kosong, yang membuat petugas polisi mencatat kelaparan sebagai dugaan penyebab kematian, menurut sebuah pernyataan dari kepolisian kabupaten Gwanak. Autopsi tidak dapat dilakukan karena mayat-mayat itu telah membusuk.
Kasus ini telah kecaman di Korea Selatan, di mana beberapa pihak menganggap bahwa pemerintah tidak berbuat banyak untuk ribuan orang yang telah melarikan diri dari rezim represif di Korea Utara. Mereka ingin penyelidikan menyeluruh terhadap kematian Han dan putranya serta perubahan kebijakan untuk mencegah tragedi di masa depan.
Tidak banyak yang diketahui tentang kehidupan Han di Korea. Tetapi dia tampaknya menjadi semakin terisolasi dan sedih dalam bulan-bulan terakhirnya, meskipun bantuan untuk dia dan putranya hanya beberapa ratus meter jauhnya di kantor pemerintah kabupaten.
New York Times melaporkan, dia pertama kali tiba di Korea Selatan pada 2009, menurut catatan pemerintah. Seperti semua pelarian dari Utara yang terisolasi, ia menjalani 12 minggu kelas wajib, mempelajari keterampilan dasar seperti menggunakan kartu kredit dan mengendarai mobil.
Pemerintah memberi para pengungsi Korea Utara sebuah apartemen sewa rendah, pembayaran kesejahteraan dan perawatan kesehatan gratis dan pelatihan kerja. Tetapi banyak yang berjuang untuk melakukan transisi dari sistem yang sangat ketat dari Korea Utara ke sistem yang cepat dan kapitalistik di Korea Selatan. Beberapa bahkan telah kembali ke Utara, mengeluh bahwa mereka diperlakukan seperti warga negara kelas dua di Korea Selatan.
Han memperoleh dana kesejahteraan dalam sembilan bulan, menunjukkan bahwa ia beradaptasi dengan cepat ke kehidupan barunya. Tetapi Kim Yong-hwa, kepala Asosiasi Hak Asasi Manusia Pengungsi Korea Utara, yang mengenal Han, mengatakan bahwa dia telah membawa beban emosional.
Dia awalnya melarikan diri ke Korea Utara setelah kelaparan yang menewaskan jutaan warga Korea Utara pada akhir 1990-an, menurut Kim. Dia mengatakan dia menjadi salah satu dari ribuan perempuan Korea Utara yang dijual oleh pedagang manusia untuk pria Cina pedesaan yang mencari istri.
Perempuan-perempuan seperti itu hidup dengan ketakutan terus-menerus untuk kembali ke Korea Utara dan dikirim ke kamp kerja paksa. Kelompok hak asasi manusia mengatakan bahwa banyak suami Cina mereka mengeksploitasi kerentanan itu dan melakukan pelecehan seksual terhadap mereka.
Beberapa perempuan Korea Utara terpaksa ke Korea Selatan dengan anak-anak yang mereka miliki di Cina, hanya untuk menghadapi stigma menjadi seorang ibu tunggal di Korea Selatan, bersama dengan semua kesulitan lain untuk menyesuaikan diri dengan kehidupan di sana.
<!--more-->
Han awalnya datang ke Korea Selatan sendirian, meninggalkan seorang putra muda bersama suaminya, menurut Kim, yang mengatakan dia membantu mengaturnya melarikan diri melalui Thailand. Dia membayar penyelundup US$ 2.000 atau Rp 28,2 juta setelah tiba di Korea Selatan dan mendapatkan dukungan uang tunai dari pemerintah, kata Kim.
"Tapi dia sangat merindukan putranya di Cina," katanya.
Pada 2012, Han meminta suaminya, seorang etnis Korea, untuk bergabung dengannya di Korea Selatan dengan putra mereka. Pria itu menemukan pekerjaan di galangan kapal. Putranya yang lain, Dong-jin, lahir pada tahun 2013. Mereka mengetahui bahwa ia menderita epilepsi.
Industri pembuatan kapal Korea Selatan mengalami kemerosotan, dan suami Han kehilangan pekerjaannya. Pada 2017, keluarganya pindah kembali ke Cina.
September lalu, Han kembali ke Korea Selatan dengan Dong-jin, setelah menceraikan suaminya, menurut Kim. Dia mengatakan dia meneleponnya dan terdengar Han sangat tertekan. Dia takut dia tidak akan bisa bekerja, karena dia tidak bisa menemukan pusat penitipan anak yang akan menerima anak epilepsi. Dia menyarankan dirinya untuk mengajukan tunjangan kesejahteraan.
Apa yang terjadi pada Han dan Dong-jin setelah itu tidak jelas.
Para pelarian Korea Utara diawasi secara ketat oleh pemerintah selama lima tahun, tetapi periode waktu itu telah berakhir. Kantor distrik mengatakan Han tidak pernah mengajukan permohonan kesejahteraan. Warga Korea Utara lainnya di Seoul mengatakan bahwa dia tidak punya teman dekat.
Dia rupanya tidak mampu membeli ponsel, artinya dia semakin terisolasi. Dalam bulan-bulan terakhirnya, penghasilan satu-satunya adalah US$ 165 atau Rp 2,4 juta per bulan untuk tunjangan anak pemerintah. Pada bulan Maret, ketika Dong-jin berusia 6 tahun, jumlah itu dipotong setengahnya. Seorang pekerja sosial mengunjunginya pada bulan April dan melaporkan bahwa tidak ada seorang pun di rumah.
Pada 13 Mei, Han menarik uang terakhir di rekening banknya sebesar US$ 3,20 atau Rp 45 ribu.
Pada tanggal 31 Juli, seorang pria petugas gas dan air pergi ke apartemen karena tagihannya tidak dibayar selama berbulan-bulan. Dia mencium bau sangat menyengat, dan ia menelepon polisi. Tetangga kemudian mengatakan kepada wartawan bahwa mereka mengira bau itu berasal dari tumpukan kompos.
Polisi kemudian memperkirakan bahwa Han dan Dong-jin telah meninggal pada akhir Mei. Peneliti forensik tidak menemukan bukti keracunan atau trauma fisik, juga tidak ada tanda-tanda pembobolan. Kulkas apartemen pelarian Korea Utara itu kosong kecuali hanya ada sedikit bubuk cabai, yang semakin memperkuat dugaan dia kelaparan di Korea Selatan.