Boris Johnson Perpanjang Reses Parlemen Inggris, Brexit Terancam
Reporter
Non Koresponden
Editor
Eka Yudha Saputra
Kamis, 29 Agustus 2019 08:30 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Perdana Menteri Boris Johnson akan memperpanjang masa reses parlemen Inggris selama sebulan lebih sebelum Brexit, setelah meminta izin dari Ratu Elizabeth II.
Langkah Johnson semakin membatasi debat negosiasi Brexit dan parlemen Inggris hanya memiliki beberapa minggu sebelum batas waktu Brexit.
Johnson meluncurkan langkah paling berani untuk membawa Inggris keluar dari Uni Eropa pada 31 Oktober dengan atau tanpa kesepakatan Brexit, dengan menetapkan tanggal baru untuk pembukaan parlemen negara.
Dikenal sebagai Queen’s Speech atau Pidato Sang Ratu, acara formal akan diadakan pada 14 Oktober dan didahului dengan penangguhan House of Commons, yang berarti parlemen tidak akan menggelar rapat antara pertengahan September dan pertengahan Oktober, menurut laporan Reuters, 29 Agustus 2019.
Langkah itu, yang harus disetujui oleh Ratu Elizabeth, bukan hanya membatasi waktu oposisi menggagalkan Brexit, tetapi juga meningkatkan kemungkinan Johnson dapat menghadapi mosi tidak percaya pada pemerintahannya, dan mungkin pemilihan dini.
Ini juga berisiko menyeret ratu yang berusia 93 tahun, yang netral secara politik ke dalam perselisihan. Para pemimpin partai-partai oposisi yang marah dengan rencana Johnson telah menulis surat kepada kerajaan, meminta pertemuan untuk mengungkapkan keprihatinan mereka.
Menurut konstitusi Inggris, Ratu bertindak atas saran perdana menteri dan kantor kerajaan menolak berkomentar.
"Akan ada cukup waktu di parlemen untuk anggota parlemen untuk berdebat dengan UE, untuk berdebat dengan Brexit dan semua masalah lainnya, waktu yang cukup," kata Johnson, dan membantah isu dia sengaja menunda perceraian Inggris dari Uni Eropa. "Itu sama sekali tidak benar."
Langkah Boris Johnson yang membatasi waktu legislatif untuk rapat debat Brexit sebelum Inggris merencanakan perpisahan dari Uni Eropa pada 31 Oktober, menuai kritik langsung dari oposisi dan beberapa anggota parlemen di dalam Partai Konservatif Johnson sendiri, dan menyebabkan poundsterling Inggris jatuh.