Trump Protes Status Negara Berkembang Cina - Singapura di WTO

Reporter

Tempo.co

Editor

Budi Riza

Minggu, 28 Juli 2019 12:12 WIB

Presiden Amerika Serikat Donald Trump dan Perdana Menteri Singapura Lee Hsien Loong berjabat tangan sebelum menggelar pertemuan di Istana di Singapura, 11 Juni 2018. REUTERS/Jonathan Ernst

TEMPO.CO, Washington – Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, mengancam akan menarik pengakuan status khusus ‘negara berkembang’ yang dimiliki Cina dan Singapura di Organisasi Perdagangan Dunia – WTO.

Trump menulis memo kepada perwakilan dagang AS di WTO agar tidak memperlakukan negara kaya sebagai negara berkembang sehingga bisa menikmati berbagai pengecualian.

Dia memberi tenggat 90 hari agar negara-negara kaya seperti Cina dan Singapura melakukan kemajuan nyata reformasi ekonomi dalam 90 hari.

“WTO rusak saat negara-negara TERKAYA dunia mengklaim status negara berkembang untuk menghindari aturan WTO dan mendapatkan perlakuan khusus. Tidak lagi!! Hari ini saya mengarahkan perwakilan dagang AS untuk mengambil aksi agar negara-negara ini berhenti MENCURANGI sistem dan mengambil keuntungan dari AS!,” cuit Trump di Twitter seperti dilansir Channel News Asia pada Sabtu, 27 Juli 2019.

Memo Trump ini menyebut ada tujuh dari sepuluh negara terkaya dunia mengklaim status negara berkembang. Negara itu seperti Singapura, Hong Kong, Kuwait, Macao, Qatar, Brunei dan Uni Emirat Arab.

Advertising
Advertising

Tiga negara lainnya yang juga disebut adalah Meksiko, Korea Selatan, dan Turki, yang merupakan anggota G-20 dan OECD, ikut menyandang status negara berkembang.

Perintah Trump adalah agar perwakilan AS di WTO menggunakan semua upaya untuk mendorong perubahan di WTO sambil bekerja dengan semua negara lain.

“Saat negara terkaya mengklaim status negara berkembang, mereka tidak hanya membahayakan negara maju tapi juga perekonomian yang betul-betul membutuhkan perhatian khusus dan perlakuan berbeda,” begitu bunyi memo tadi.

Status negara berkembang di WTO memungkinkan pemerintah untuk mengimplementasikan komitmen perdagangan bebas dengan lebih lama. Status ini juga memungkinkan pemerintah untuk melindungi industri domestik dan subsidi.

AS telah lama mengajukan komplain soal ini dan nyaris tidak menunjuk perwakilan untuk WTO.

Uni Eropa juga sempat mengungkapkan keprihatinan soal status Cina di WTO dan menolak mengakuinya sebagai ekonomi pasar pada akhir 2016.

Pemerintahan Trump juga mengajukan komplain terhadap Cina menggunakan aturan dagang domestik nyaris setiap pekan. Ini meliputi berbagai produk seperti baja, kimia industri, dan karet. Nilai tarif yang ditetapkan naik hingga 200 persen.

Robert Lighthizer, yang menjadi Pejabat Perdagangan AS di WTO, menilai aturan main organisasi itu tidak mampu mengendalikan praktek dagang Cina.

Amerika tidak pernah menerima klaim status Cina sebagai negara berkembang dan semua indikator ekonomi saat ini meragukan klaim Cina,” begitu pernyataan pemerintah AS. Produk Domestik Bruto Cina merupakan terbesar kedua di dunia setelah AS.

Menanggapi ini, Channel News Asia melansir kementerian Industri dan Perdagangan Singapura mengatakan negaranya tidak berusaha mengambil keuntungan dari fleksibilitas status khusus di WTO.

Status special and differential treatment dari WTO ini memberi negara berkembang hak-hak khusus agar mendapat perlakuan dagang lebih lunak dari anggota WTO lainnya.

“Contohnya kami berkomitmen mengimplementasikan Kesepakatan Fasilitasi Perdagangan WTO segera dan tanpa masa transisi,” kata seorang pejabat Singapura, yang mengaku terus berkomunikasi dengan semua negara termasuk AS soal ini.

Berita terkait

Tak Hanya India, Jepang Juga Kecewa Atas Komentar Joe Biden tentang Xenofobia

14 jam lalu

Tak Hanya India, Jepang Juga Kecewa Atas Komentar Joe Biden tentang Xenofobia

Pemerintah Jepang menanggapi komentar Presiden AS Joe Biden bahwa xenofobia menjadi faktor penghambat pertumbuhan ekonomi di Cina, India dan Jepang.

Baca Selengkapnya

Menlu India Tak Terima Komentar Joe Biden tentang Xenofobia

18 jam lalu

Menlu India Tak Terima Komentar Joe Biden tentang Xenofobia

Menteri Luar Negeri India menolak komentar Presiden AS Joe Biden bahwa xenofobia menjadi faktor yang menghambat pertumbuhan ekonomi negaranya.

Baca Selengkapnya

Soal Internet di Cina, Kampanye Larangan Tautan Ilegal hingga Mengenai Pendapatan Periklanan

19 jam lalu

Soal Internet di Cina, Kampanye Larangan Tautan Ilegal hingga Mengenai Pendapatan Periklanan

Komisi Urusan Intenet Pusat Cina telah memulai kampanye nasional selama dua bulan untuk melarang tautan ilegal dari sumber eksternal di berbagai media

Baca Selengkapnya

Update Harga Tiket dan Jadwal Kapal Feri Batam - Singapura Mei 2024

19 jam lalu

Update Harga Tiket dan Jadwal Kapal Feri Batam - Singapura Mei 2024

Perjalanan dari Batam ke Singapura dengan kapal feri hanya butuh waktu sekitar 1 jam. Simak harga tiketnya.

Baca Selengkapnya

Dugaan Ekspor Nikel Ilegal sebanyak 5,3 Juta Ton ke Cina, KPK: Masih Cari Alat Bukti

20 jam lalu

Dugaan Ekspor Nikel Ilegal sebanyak 5,3 Juta Ton ke Cina, KPK: Masih Cari Alat Bukti

Wakil Ketua KPK, Alexander Marwata mengaku tidak mengetahui ihwal penyidik meminta Bea Cukai untuk paparan dugaan ekspor nikel ilegal ke Cina.

Baca Selengkapnya

Penanganan Polusi Udara, Peneliti BRIN Minta Indonesia Belajar dari Cina

1 hari lalu

Penanganan Polusi Udara, Peneliti BRIN Minta Indonesia Belajar dari Cina

Cina menjadi salah satu negara yang bisa mengurangi dampak polusi udaranya secara bertahap. Mengikis dampak era industrialisasi.

Baca Selengkapnya

Menlu Selandia Baru Sebut Hubungan dengan Cina "Rumit"

1 hari lalu

Menlu Selandia Baru Sebut Hubungan dengan Cina "Rumit"

Menlu Selandia Baru menggambarkan hubungan negaranya dengan Cina sebagai hubungan yang "rumit".

Baca Selengkapnya

Wisatawan Indonesia Paling Senang Belanja di Singapura

1 hari lalu

Wisatawan Indonesia Paling Senang Belanja di Singapura

Singapura telah menerima lebih dari 664 ribu pengunjung Indonesia. Jumlah ini mengalami peningkatan sebesar 33,8 persen dibandingkan tahun lalu.

Baca Selengkapnya

Ini Agenda Masa Jabatan Kedua Trump, termasuk Deportasi Massal

1 hari lalu

Ini Agenda Masa Jabatan Kedua Trump, termasuk Deportasi Massal

Donald Trump meluncurkan agenda untuk masa jabatan keduanya jika terpilih, di antaranya mendeportasi jutaan migran dan perang dagang dengan Cina.

Baca Selengkapnya

Badan Mata-mata Seoul Tuding Korea Utara Rencanakan Serangan terhadap Kedutaan Besar

1 hari lalu

Badan Mata-mata Seoul Tuding Korea Utara Rencanakan Serangan terhadap Kedutaan Besar

Badan mata-mata Korea Selatan menuding Korea Utara sedang merencanakan serangan "teroris" yang menargetkan pejabat dan warga Seoul di luar negeri.

Baca Selengkapnya