Ketegangan Laut Cina Selatan, Menlu Malaysia Soroti Peran ASEAN
Reporter
Non Koresponden
Editor
Suci Sekarwati
Sabtu, 20 Juli 2019 18:45 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Menteri Luar Negeri Malaysia Saifuddin Abdullah menyebut peran ASEAN di Malaysia masih menjadi buah bibir, termasuk peran Cina di ASEAN. Cina memiliki kepentingan sangat tinggi di Laut Cina Selatan dan ASEAN masih mengupayakan code of conduct yang akan mengatur jalur perairan vital tersebut.
"Kalau sentralitas ASEAN sudah kukuh, maka tak ada satu atau dua negara yang melakukan perundingan bilateral dengan Cina (sengketa Laut Cina Selatan). Yang ada, ke-10 negara anggota ASEAN berdialog dengan Cina," kata Saifuddin, Sabtu, 20 Juli 2019, di acara kuliah umum Universitas Paramadina, Jakarta.
Laut Cina Selatan dan Kepulauan Spartly yang ada di sana adalah kawasan perairan yang sampai sekarang masih diperebutkan, termasuk oleh Malaysia. Dengan begitu, isu maritim di ASEAN cukup besar karena menyangkut keselamatan. Namun Saifuddin menekankan, laut jangan dilihat sebagai pemisah, tetapi harus dipandang sebagai pemersatu. Untuk itu, Malaysia ingin fokus pada kerja sama maritim bagi solidaritas.
Vietnam Tuding Kapal Survei Minyak asal Cina Langgar Kedaulatan
Ketegangan di Laut Cina Selatan saat ini kembali menjadi sorotan setelah Vietnam menyerukan kepada Cina agar memindahkan kapal eksplorasi minyaknya di dekat Kepulauan Spratly, kawasan Laut Cina Selatan.
Kapal Laut Beijing dan Vietnam Saling Pepet di Laut Cina Selatan
"Dalam beberapa hari terakhir, kapal Cina Haiyang Dizhi 8 yang melakukan survei dan sejumlah kapal lain yang mengawalnya telah melakukan aktivias di wilayah selatan Laut Timur (istilah Laut Cina Selatan) dan ini menciderai zona ekonomi eksklusif Vietnam. Area ini terletak di kawasan perairan Vietnam," kata Juru bicara Kementerian Luar Negeri Vietnam, Le Thi Thu Hang, seperti dikutip dari aljazeera.com, Sabtu, 20 Juli 2019.
Dalam keterangannya, Vietnam yang merupakan anggota ASEAN, menuntut Cina agar menghentikan tindakannya yang tidak berdasar hukum dan meminta kapal-kapal lautnya segera angkat kaki dari perairan negara itu. Surat kabar dari Hong Kong South China Morning Post mewartakan sebelumnya pada 12 Juli lalu, enam kapal penjaga pantai, yakni dua dari Cina dan empat dari Vietnam terlihat saling mengawasi sejak awal Juli 2019.