Tiga Pelanggaran HAM Berat yang Dilakukan Myanmar pada Rohingya
Reporter
Non Koresponden
Editor
Suci Sekarwati
Rabu, 14 November 2018 18:25 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Tim Pencari Fakta (TPF) PBB menemukan tiga pelanggaran HAM berat yang dilakukan oleh Myanmar terhadap penduduk etnis minoritas Rohingya. Tiga pelanggaran itu adalah pembantaian atau genosida, kejahatan kemanusiaan dan kejahatan perang.
Berdasarkan pelanggaran tersebut, PBB rencananya akan menggelar sidang Majelis Umum PBB pada 10 Desember 2018. Sidang itu ditujukan untuk menerbitkan resolusi PBB tentang pelanggaran HAM berat bagi pemerintah Myanmar.
Baca: Repatriasi Pengungsi Rohingya ke Myanmar Ditentang
Marzuki Darusman, Ketua Tim Pencari Fakta PBB, menceritakan Myanmar menentang pembentukan tim pencari fakta PBB dan organisasi internasional lainnya, masuknya ke lokasi pembantaian. Pemerintah Myanmar beralasan ingin menyelesaikan masalahnya sendiri. Namun sampai November 2018, belum ada laporan dari tim pencari fakta yang dibentuk Myanmar.
"Mereka (Myanmar) bahkan sudah bentuk enam tim pencari fakta, tapi sampai sekarang belum ada laporan yang dikeluarkan. Tim pencari fakta dari PBB bahkan tidak diizinkan masuk oleh Myanmar," kata Marzuki dalam diskusi terbuka yang dilakukan oleh Komite Nasional Solidaritas Rohingya (KNSR) yang diinisiasi ACT, Rabu, 14 November 2018.
Baca:Myanmar-Bangladesh Mulai Repatriasi, Rohingya Melarikan Diri
Menurut Marzuki, timnya telah menemukan adanya upaya pembersihan etnis luar biasa. Bentrokan antara aparat kepolisian perbatasan dengan etnis Rohingya adalah puncak kekesalan akibat diskriminasi yang diterima etnis monioritas Rohingya. Diantara diskriminasi yang mereka terima adalah larangan bepergian tanpa surat izin dari otoritas berwenang, lingkup geraknya dibatasi, dan adanya diskriminasi yang sistematis.
"Bagaimana kita bisa temukan fakta-fakta kalau tim pencari fakta tak bisa masuk? Maka yang kami lakukan diantaranya bergerak ke kamp pengungsi di Cox Bazar, Bangladesh. Di sana para pengungsi yang selamat dari pembantaian bercerita apa yang terjadi pada mereka," kata Marzuki.
Ditutupnya akses bagi tim pencari fakta PBB dan komunitas internasional ke lokasi pembantaian oleh Myanmar disesalkan Kyaw Win, Direktur Eksekutif Yayasan HAM Burma. Penutupan akses ini telah membuat banyak pihak sulit menggali data akurat total korban tindak kekerasan yang dialami suku minoritas Rohingya. Saat ini, diperkirakan ada sekitar 30 ribu anak-anak etnis Rohingya kehilangan orang tuanya.
Setelah pembantaian besar-besaran yang terjadi pada Agustus 2017, ada sekitar 250 ribu masyarakat etnis Rohingya yang bertahan di negara bagian Rakhine, Myanmar. Namun jumlah mereka terus berangsur menurun. Tim pencari fakta PBB saat ini menuntut agar dilakukan proses penuntutan secara hukum pada para pelaku pembantaian, baik itu ke Mahkamah yang dibentuk PBB atau Pengadilan Pidana Internasional di Den Haag, Belanda.