UU Antiberita Bohong Malaysia Mau Dicabut, Menteri: Tidak Relevan
Reporter
Non Koresponden
Editor
Eka Yudha Saputra
Minggu, 12 Agustus 2018 18:00 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Menteri Hukum Malaysia, Liew Vui Keong, membantah klaim mantan menteri Barisan Nasional bahwa pemerintah Pakatan Harapan tergesa-gesa untuk mencabut UU Anti-berita bohong, yang baru berusia empat bulan.
"Kenyataannya adalah perumusan UU 803 (UU Anti-berita bohong), selama pemerintahan sebelumnya, tergesa-gesa tanpa konsultasi dan diskusi yang komprehensif dengan semua pemangku kepentingan. Formulasi undang-undang itu mendapat tentangan dari banyak pihak, terutama dari media dan mendapat reaksi negatif dari publik," kata Liew, seperti dilaporkan Malaysiakini, 12 Agustus 2018.
Baca: Kebebasan Pers di Malaysia Memasuki Babak Baru
Liew menanggapi pernyataan Azalina Othman Said yang menyebut bahwa pemerintah saat ini sedang menyusun pencabutan undang-undang kontroversial tersebut.
Azalina, anggota parlemen dari Pengerang, mengklaim bahwa undang-undang terkait yang ada lainnya, seperti KUHP, Undang-undang Percetakan dan Publikasi Pers dan Undang-undang Komunikasi dan Komisi Multimedia, tidak relevan dengan kemajuan teknologi saat ini, yang pada gilirannya, digunakan untuk mendukung penyebaran berita bohong.
Baca: Setelah Equanimity, Mahathir Incar Pesawat Jet Pribadi Jho Low
Menanggapi in, Liew menyatakan bahwa pemerintah merasa puas bahwa undang-undang yang ada sudah cukup dan lebih efisien menangani masalah berita palsu.
"Penghapusan undang-undang ini sejalan dengan keinginan pemerintah untuk memastikan media memiliki kebebasan untuk melakukan proses pemeriksaan dan keseimbangan dalam hal administrasi pemerintah, dan memberikan kebebasan rakyat untuk berekspresi, (selama) terikat oleh hukum yang ada," kata Liew.
Liew telah mengajukan RUU ke Dewan Rakyat pada Rabu 8 Agustus untuk mencabut Undang-undang Anti-berita bohong.
Para kritikus menuduh pemerintah yang dipimpin Barisan Nasional memaksa meloloskan Undang-undang Antiberita-bohong melalui parlemen tanpa berkonsultasi dengan para pemangku kepentingan yang diperlukan sebelum disahkan pada April.
Baca: KPK Malaysia Tahan 17 Penjaga Keamanan Kantor Perdana Menteri
Anggota oposisi dan kelompok-kelompok hak asasi Malaysia mengkritik UU atas definisi yang kabur dari "Anti-berita bohong", dengan alasan bahwa UU itu dapat digunakan untuk mengekang kebebasan pers dan membungkam perbedaan pendapat.
Dilansir dari Asian Correspondent, selama periode kampanye, Pakatan Harapan merilis manifesto yang berjanji untuk meninjau dan berpotensi menghapus peraturan yang membungkam kebebasan berpendapat. Undang-undang ini termasuk UU Penghasutan 1948, UU Pencegahan Kejahatan 1959, UU Pencegahan Aksi Terorisme 2015, UU Komunikasi dan Multimedia 1998, dan UU Anti-berita bohong 2018.