Kena Sanksi, Koki Jepang di Korea Utara Tak Dapat Ikan Impor
Reporter
Yon Yoseph
Editor
Yon Yoseph
Rabu, 3 Januari 2018 17:04 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Mantan kepala juru masak mendiang pemimpin Korea Utara Kim Jong-il, Kenji Fujimoto, yang mengelola restoran Jepang di Pyongyang, mengeluh bahwa ia kini hanya bisa mendapatkan ikan Korea Utara setelah adanya sanksi internasional terkait pengembangan nuklir negara itu.
Seperti dilaporkan Chosun Ilbo, Rabu 3 Januari 2018, dia adalah koki rumah tangga Kim Jong-il dari akhir 1980-an sampai 2001, ketika dia kembali ke Jepang. Namun ia kembali tinggal di Korea Utara pada Agustus tahun lalu dan membuka sebuah restoran bernama Takahashi di department store Nakwon mewah yang melayani elite partai.
Dia membuat sebuah tanda Jepang di depan restoran tersebut untuk "memperluas pemahaman" orang Korea Utara tentang Jepang.
Baca juga:
Korea Utara Buka Lagi Jalur Komunikasi dengan Korea Selatan
Salah satu sumber yang makan di Takahashi mengatakan pada mingguan Jepang bahwa makanan "rasanya cukup bagus, tapi harganya cukup tinggi." Restoran ini menyajikan empat menu lengkap yang harganya antara US$ 50-US$ 150 atau Rp 650 ribu hingga Rp 2 juta.
Fujimoto kembali membuka restoran di Pyongyang setelah bertemu dengan pemimpin Korea Utara Kim Jong-un awal tahun lalu dan mengatakan kepadanya tentang keinginannya untuk membuka restoran Jepang di Pyongyang.
Lahir di Prefektur Akita Jepang, Fujimoto menolak untuk mengungkapkan nama sebenarnya. Nama Korea Utara-nya adalah Pak Chol. Dia pertama kali pergi ke Korea Utara pada tahun 1987 dan bekerja sebagai koki di Hotel Koryo di Pyongyang, di mana dia ditemukan oleh Kim Jong-il.
Baca juga:
Korea Utara Siap Luncurkan Roket Terbesar Penghujung Tahun Ini
Dia menikahi seorang penyanyi Korea Utara yang terkenal dan bergabung dengan Partai Buruh namun melarikan diri pada bulan April 2001 dengan dalih membeli bahan di Jepang. Media Jepang melaporkan bahwa ia telah bosan terus dipantau oleh keamanan negara.
Fujimoto sempat menulis sebuah otobiografi pada 2003 dimana ia meramalkan bahwa Kim Jong-un akan menjadi pemimpin Korea Utara berikutnya, bahkan saat dunia mempercayai saudara tirinya yang tertua, Kim Jong-nam akan menjadi penerus tahta menggantikan Jong-il.