Dunia Bahas Derita Rohingya, Suu Kyi Diboikot?  

Reporter

Editor

Bobby Chandra

Rabu, 27 Mei 2015 13:01 WIB

Aung San Suu Kyi di sampul majalan TIME. Timeinc.co.kr

TEMPO.CO, Yangon - Sebuah pertemuan internasional tentang penderitaan muslim Rohingya yang teraniaya di Myanmar bertabur bintang. Di antara undangan adalah tiga pemenang Nobel Perdamaian. Mereka menyerukan kepada dunia untuk lebih peduli dengan tragedi yang mendera kelompok minoritas tersebut.

Di tengah konferensi yang membahas nasib warga Myanmar itu, pemenang Nobel dan sesama ikon pro-demokrasi Aung San Suu Kyi tidak akan berada di antara para pemenang Nobel tersebut. Kantor berita AP, Selasa, 26 Mei 2015, mengatakan, Suu Kyi, pegiat hak asasi manusia dari Myanmar tidak diundang. (Baca: Rohingya Dibantai dan Diusir, di Mana Aung San Suu Kyi?)

Selama 15 tahun dalam tahanan rumah, Suu Kyi memenangkan kekaguman dan simpati orang di seluruh dunia dengan pidatonya yang berapi-api. Ia pun kerap melancarkan kritik yang memerahkan telinga rezim militer yang memerintah Myanmar, atau Burma, sebutan negara ini saat itu.




Setelah pembebasannya pada 2010, ketika para jenderal berkuasa menyerahkan wewenangnya kepada pemerintah sipil, Suu Kyi memenangkan kursi di parlemen. Perempuan 69 tahun itu mengaku dia politikus. Suu Kyi berkukuh bahwa dia tidak pernah berusaha untuk menjadi juara pembela hak asasi manusia.

Para kritikus mencatat Suu Kyi berhati-hati memilih medan pertempurannya. Sebagian kritikus lagi mengatakan, sikap kehati-hatian itu muncul lantaran Suu Kyi, pemenang Nobel Perdamaian pada 1991, memiliki ambisi besar menjadi presiden jika memenangkan pemilihan umum November 2015. (Baca juga: Kenalkan Ashin Wirathu, Biksu Pembenci Muslim Rohingya)

Di sebuah negara yang mayoritas beragama Buddha dari 53 juta penduduknya, tempat merebaknya permusuhan terhadap muslim Rohingya yang minoritas dengan 1,3 juta jiw, Suu Kyi (dibaca "suu chee") memilih untuk tetap diam, bahkan ketika dunia menyaksikan penderitaan lebih dari 3.000 orang yang kelaparan.

Warga Rohingya yang melarikan diri dari tempatnya itu menyewa kapal-kapal dan perahu milik pedagang manusia itu. Mereka memilih mengarungi Laut Andaman sembari menderita dehidrasi yang akhirnya terdampar di Malaysia, Indonesia, dan Thailand sepanjang bulan ini. Demikian menurut laporan badan pengungsi PBB. (Baca: Ini Alasan Ashin Wirathu Benci Islam)


<!--more-->


Pertemuan internasional di Institut Nobel di Oslo, Norwegia, dibuka Selasa, 26 Mei 2015, oleh mantan Perdana Menteri Norwegia Kjell Magne Bondevik. Negaranya menjanjikan US$ 1,3 juta untuk membantu Rohingya di negara bagian Rakhine, Myanmar, dengan meningkatkan kondisi hidup, mencegah orang melarikan diri melalui laut, dan membatasi ketegangan antara kelompok etnis.

Pertemuan tersebut menampilkan laporan video dari pemenang Nobel Perdamaian, yakni Uskup Desmond Tutu, pemenang Nobel pada 1984 dari Afrika Selatan, José Ramos-Horta, pemenang Nobel pada 1996 dari Timor Leste, dan Mairead Maguire, pemenang Nobel bersama Betty Williams pada 1976 dari Irlandia Utara. (Simak: Derita Rohingya: Suu Kyi Tetap Bungkam, Partai Buka Suara)

Di samping para pemenang Nobel, hadir pula filantropis George Soros, yang melarikan diri ketika negaranya, Hongaria, diduduki serdadu Nazi pimpinan Hitler. Soros mengatakan bahwa "ancaman yang paling mendesak untuk transisi di Burma adalah meningkatnya sentimen anti-Muslim."



Advertising
Advertising

"Sebagai seorang Yahudi di Budapest, aku juga adalah Rohingya," kata Soros dalam sebuah pernyataannya melalui video. "Kasus ini sejajar dengan genosida Nazi yang mengkhawatirkan. Untungnya, kami belum mencapai tahap pembunuhan massal."

Pesan konferensi itu berfokus pada cara-cara mengakhiri penganiayaan panjang Rohingya selama bebeapa dekade, dan pentingnya pembelaan.

"Jika Anda netral dalam situasi ketidakadilan, Anda memilih sisi para penindas," kata Tutu, yang memenangkan Hadiah Nobel karena perlawanannya kepada rezim apartheid yang brutal di Afrika Selatan, dalam pernyataan videonya. "Jika gajah menginjak kaki tikus dan Anda mengatakan itu netral, tikus tidak akan menghargai netralitas Anda."

Kebebasan berekspresi yang menyertai awal perjuangan, kini dihadang kebuntuan politik dengan sisi gelapnya, yang meninggalkan kebencian mendalam terhadap minoritas Rohingya yang berkulit gelap. (Simak: VIDEO: Perahu Kecil Aceh Selamatkan 433 Pengungsi Rohingya)


Lewat gerakan biksu garis keras yang mengipasi kemarahan, massa yang menghunus parang mulai turun ke jalanan pada 2012, menewaskan hingga 280 orang. Sekitar 140 ribu orang lainnya menyingkir ke kamp-kamp pengungsian yang berdebu dan dekil. Mereka memiliki akses terbatas ke sekolah dan perawatan kesehatan yang memadai. Mereka tidak dapat bergerak bebas, dan harus membayar suap yang besar untuk melewati barikade polisi, bahkan untuk keadaan darurat.

Pemerintah menegaskan warga Rohingya pendatang ilegal dari negara tetangga Bangladesh. Pemerintah membantah mereka memiliki kewarganegaraan, yang menambah keputusasaan sehingga memicu eksodus dari sekitar 100 ribu Rohingya dalam tiga tahun terakhir. Pihak berwenang menolak mengidentifikasi mereka sebagai "Rohingya" dan menggunakan "Bengali" sebagai gantinya. Suu Kyi juga menghindari sebutan umum dan hanya menyebut Rohingya sebagai "muslim."


<!--more-->


Laman resmi untuk konferensi Oslo yang berlangsung tiga hari itu, menyatakan putri pahlawan kemerdekaan Myanmar, Aung San, itu menyebarkan sentimen "anti-Rohingya" kepada penduduk, sesuatu yang dibantah, oleh Suu Kyi. Aase Pasir, Komite Burma Norwegia, salah satu penyelenggara acara, mengatakan mereka tidak pernah ada rencana mengundang Suu Kyi atau meminta pernyataannya untuk direkam.

Dalam dua tahun terakhir Suu Kyi aktif berkampanye mengubah konstitusi yang melarang dirinya bertarumh merebut kursi kepresidenan karena dia menikah dengan orang asing. Menjelang pemilihan umum yang dijadwalkan akhir tahun, pemimpin oposisi alumnus Universitas Oxford itu menyadari dia sendiri tidak akan bertarung suara mendatang. Namun, Partai Liga Nasional untuk Demokrasi, partai yang dia pimpin, dan itu diharapkan untuk melakukan sangat. (Baca: Cara Ashin Wirathu Sebarkan Kebencian terhadap Muslim Rohingya)

Suu Kyi berupaya main cantik di tengah konstelasi politik Myanmar. Dia berhati-hati untuk tidak menggusarkan rezim militer, yang masih memegang kekuasaan politik luar biasa. Militer memiliki seperempat kursi kekuasaan parlemen dan veto atas perubahan amandemen konstitusi. Suu Kyi juga menyadari risiko untuk diri dan partainya jika dia membela Rohingya.




Suu Kyi, anggota elite golongan pemuka agama Buddha di Myanmar, mengatakan media asing atau aktivis hak bertanya mengapa dia sejauh ini gagal mengecam aksi fanatik buta di Myanmar, apakah terhadap Rohingya atau Kristen dari warga minoritas lainnya dari suku Chin dan Kachin, yang juga sejak lama menjadi sasaran ancaman, intimidasi, dan diskriminasi dari warga mayoritas.

Suu Kyi enggan menanggapi pertanyaan dari Associated Press, tetapi ia menegaskan posisinya dalam sebuah wawancara dengan Kanada The Globe and Mail bulan lalu. Menurut dia, masalah di negara bagian Rakhine yang berbatasan dengan Bangladesh, didasarkan pada rasa ketakutan dan persepsi menjadi minoritas. Hampir semua warga Rohingya hidup di negara bagian ini.

Rohingya merasa terancam oleh umat Buddha di Rakhine. Sedangkan umat Buddha takut terhadap dukungan besar dari dunia muslim untuk Rohingya. (Baca: Benci Rohingya: Ashin Wirathu Punya 3 Pidato Radikal)

"Mereka yang mengkritik saya karena tidak mengutuk satu sisi atau sisi yang lain-- mereka tidak pernah mengatakan apa persisnya yang mereka harapkan agar keluar dari kutukan tersebut," kata Suu Kyi kepada koran itu. "Kau hanya mengambil landasan moral yang tinggi demi kelihatan baik, tapi kedengarannya sedikit tidak bertanggung jawab."

AP | BC

Berita terkait

Pertempuran di Perbatasan Myanmar-Thailand, Pemberontak Targetkan Pasukan Junta

12 hari lalu

Pertempuran di Perbatasan Myanmar-Thailand, Pemberontak Targetkan Pasukan Junta

Pertempuran berkobar di perbatasan timur Myanmar dengan Thailand memaksa sekitar 200 warga sipil melarikan diri.

Baca Selengkapnya

Anak-anak Pengungsi Rohingya Dapat Bantuan Baju Lebaran

23 hari lalu

Anak-anak Pengungsi Rohingya Dapat Bantuan Baju Lebaran

Baju Lebaran yang diberikan oleh Yayasan BFLF Indonesia berupa satu setelan busana muslim untuk anak perempuan pengungsi Rohingya

Baca Selengkapnya

Sekjen PBB akan Tunjuk Utusan Khusus untuk Atasi Krisis Myanmar

28 hari lalu

Sekjen PBB akan Tunjuk Utusan Khusus untuk Atasi Krisis Myanmar

Meluasnya konflik bersenjata di seluruh Myanmar membuat masyarakat kehilangan kebutuhan dasar dan akses terhadap layanan penting

Baca Selengkapnya

Junta Myanmar: Pemilu Berikutnya Mungkin Tak Diselenggarakan secara Nasional

38 hari lalu

Junta Myanmar: Pemilu Berikutnya Mungkin Tak Diselenggarakan secara Nasional

Junta Myanmar mengumumkan bahwa pemilu Myanmar berikutnya berpotensi tak diselenggarakan secara nasional.

Baca Selengkapnya

Rumah Aung San Suu Kyi di Myanmar Dilelang, Tapi Tak Ada yang Menawar

43 hari lalu

Rumah Aung San Suu Kyi di Myanmar Dilelang, Tapi Tak Ada yang Menawar

Rumah besar di tepi danau tempat pemimpin demokrasi Myanmar Aung San Suu Kyi menghabiskan bertahun-tahun sebagai tahanan rumah dilelang pada Rabu

Baca Selengkapnya

Komisi Tinggi HAM PBB: Akses Junta Myanmar terhadap Senjata dan Uang Harus Diputus

1 Maret 2024

Komisi Tinggi HAM PBB: Akses Junta Myanmar terhadap Senjata dan Uang Harus Diputus

Komisi Tinggi HAM PBB menyoroti isu yang masih berlangsung di Myanmar, yaitu kekuasaan junta Myanmar dan persekusi etnis Rohingya.

Baca Selengkapnya

Pertama dalam Tiga Tahun, Pejabat Junta Myanmar Hadiri Pertemuan ASEAN di Laos

29 Januari 2024

Pertama dalam Tiga Tahun, Pejabat Junta Myanmar Hadiri Pertemuan ASEAN di Laos

ASEAN pada Oktober 2021 memutuskan bahwa hanya perwakilan nonpolitik dari junta Myanmar saja yang diperbolehkan hadir pada pertemuan ASEAN.

Baca Selengkapnya

Pengadilan Myanmar: Situs Tahanan Rumah Aung San Suu Kyi Dilelang $90 Juta

25 Januari 2024

Pengadilan Myanmar: Situs Tahanan Rumah Aung San Suu Kyi Dilelang $90 Juta

Pengadilan di Myanmar melelang vila tempat mantan pemimpin dan ikon demokrasi Aung San Suu Kyi menghabiskan 15 tahun dalam tahanan rumah.

Baca Selengkapnya

Junta Myanmar Bebaskan 9,652 Tahanan, termasuk 114 Orang Asing

5 Januari 2024

Junta Myanmar Bebaskan 9,652 Tahanan, termasuk 114 Orang Asing

Pemerintah junta Myanmar akan membebaskan banyak tahanan berdasarkan amnesti untuk memperingati hari kemerdekaan negara setiap 4 Januari.

Baca Selengkapnya

Junta Myanmar Hadapi Serangan Hebat dari Pemberontak di Tiga Negara Bagian

16 November 2023

Junta Myanmar Hadapi Serangan Hebat dari Pemberontak di Tiga Negara Bagian

Junta Myanmar juga menyerukan kepada warganya yang memiliki pengalaman militer untuk siap bertugas.

Baca Selengkapnya