Wanita Ini Gelar Pameran Foto Exiles 65 di Belgia
Editor
Maria Rita Hasugian
Sabtu, 9 Mei 2015 06:30 WIB
TEMPO.CO , Brussel: Keberadaan warga Indonesia yang berstatus korban politik 1965 sehingga kehilangan kewarganegaraanya dan tidak dapat kembali ke Tanah Air (exiles) menarik perhatian Elisabeth Ida Mulyani, seniman fotografi asal Yogyakarta.
Ida adalah alumni Teknik Mesin Universitas Gadjah Mada yang berubah haluan dan menyelesaikan studi S1 dan S2 dalam bidang seni rupa fotografi di kota Ghent, Belgia dengan predikat cum laude.
Sebagai tradisi tahunan, Pusat Budaya Strombeek di jantung negara Belgia, mengundang satu seniman untuk menampilkan karya-karyanya selama setahun penuh. Dalam edisi 2014-2015 pilihan jatuh pada Ida.
Ketertarikannya pada kehidupan para exiles di belahan Eropa selama ini menjadi tema pameran dokumenter fotografi yang berlangsung pada 10 April - 12 Mei 2015 di Pusat budaya Strombeek.
Pameran mendapat banyak minat pengunjung untuk ingin lebih tahu tentang peristiwa 1965. Mayoritas warga Belgia belum pernah mendengar tentang tragedi politik tahun 1965. Selain fotografi, juga ditampilkan video wawancara dengan para eksil di Swedia dan Belanda.
Perkenalan Ida dengan Pusat Budaya Strombeek berawal dari pameran pertamanya tahun 2012 di Belanda. Sehingga akhirnya ia sering mengunjungi Belgia - Belanda. Soalnya, karyanya selama ini dipandang berbeda dari karya seni lainnya. Ida kemudian diganjar "Young Belgian Talent" oleh Museum Fotografi Antwerp di Belgia.
Setelah selesai kuliah S2 dan post-master di Belgia, ia aktif berkarya dan tema pameran yang dipilih ia anggap relevan dengan situasi sekarang. " Tentu saja relevan dengan kondisi saya sendiri sebagai migran," kata Ida kepada Tempo, Rabu, 6 Mei 2015.
<!--more-->
Perkenalannya dengan para exiles ketika dia ke Amsterdam. "'Pada suatu hari, di Amsterdam itu saya bertemu dengan orang-orang Indonesia, lalu dikenalkan juga pada mbah-mbah yang ternyata adalah exiles. Mulai dari situ saya tertarik untuk mendengarkan kisah hidup mereka dan membuat seri dokumenter," ujar Ida.
Ida mengaku kaget sekali mendengar penuturan para exiles.Sebelumnya ia tidak pernah dengar tentang pengalaman mereka.
"Yang pertama saya kunjungi adalah Bung Sarmadji, pendiri Perhimpunan Dokumentasi Indonesia (PERDOI) di Belanda. Selain di Belanda, saya juga mengunjungi para eksil di Swedia, mereka mempunyai Paguyuban untuk berkumpul, sekadar beraktivitas guyub bersama seperti berkebun, masak-masak, ziarah bersama, tapi juga update tentang Tanah Air. Mereka ini sangat cinta Indonesia," kata Ida.
Kemudian ia ke Prancis dan Jerman. Di dua negara ini Ida mengunjungi exiles, namun banyak juga yang tidak bersedia dipotret karena berbagai hal, terutama trauma dan ketakutan.
Ia teringat pada pelajaran sejarah di sekolah tentang G30S PKI dan film tentang peristiwa itu yang disutradarai Arifin C. Noer. "Dulu wajib kita tonton setiap tanggal 30 September, beserta kisah horor dalam pelajaran sejarah. Bahwa komunis(me) adalah yang paling jahat di muka bumi, termasuk Gerwani yang mencongkel mata dan menyilet wajah para jendral, menari seronok, tidak bermoral dan sebagainya," kata Ida dengan bersemangat.
Setiba di Belanda, Ida mulai mendengar dan membaca, datang ke seminar tentang penelitian ilmiah mengenai tragedi 1965. Hasilnya, menurutnya, sungguh beda dengan propaganda Orba di sekolahnya maupun cerita dalam film. Di Belanda pula ia menonton film "The Act of Killing" dan dapat berbincang dengan sutradaranya yang juga sangat cinta Indonesia. "Saya merasa dikelabui seumur hidup, dicuci otak. Marah dan sedih," ujar Ida.
<!--more-->