TEMPO.CO, Bangkok - Bekas Perdana Menteri Thailand, Abhisit Vejjajiva, didakwa telah melakukan serangkaian pembunuhan terhadap warga sipil selama kerusuhan antipemerintah dua tahun lalu. Demikian keterangan dari sumber partai yang dipimpinnya, Partai Demokrat, kepada media, Rabu, 12 Desember 2012.
Abhisit, bersama dengan wakilnya, Suthep Thaugsuban, secara resmi menghadapi dakwaan oleh Departemen Investigasi Khusus di Bangkok (DSI), Kamis pekan lalu. Mereka merupakan pejabat pertama yang dihadapkan pada pengadilan atas kekerasan politik terburuk di Thailand dalam beberapa dekade ini.
"DSI menuduh Abhisit dan Suthep dengan pasal 288 tentang pembunuhan. Keduanya menolak tuduhan itu," kata Thavorn Senniem, pengacara Partai Demokrat, kepada AFP.
Ratusan polisi anti-huru-hara dikerahkan untuk mengawal gedung pengadilan. Sedangkan sekitar 20 pendukung kedua bekas pemimpin itu membawa bunga mawar. Puluhan demonstran lainnya membawa gambar-gambar korban pembunuhan ketika keduanya tiba di pengadilan.
Sedikitnya 90 orang dilaporkan tewas dan sekitar 1.900 lainnya cedera dalam rentetan kerusuhan di jalanan yang melibatkan antara pengunjuk rasa "Kaos Merah" dan petugas keamanan. Krisis ini mencapai puncaknya ketika sebuah operasi militer pada 2010 memakan korban jiwa saat membubarkan unjuk rasa.
Dakwaan yang dialamatkan kepada Abhisit, saat itu perdana menteri, terkait dengan tembakan mematikan terhadap sopir taksi Phan Kamkong.
Tarif Pengdith, Kepala DSI, mengatakan, pemeriksaan Abhisit dan wakilnya didorong oleh keputusan pengadilan September lalu, yang menyebutkan Phan tewas akibat ditembak oleh tentara. Abhisit menolak segala tuduhan kepadanya. Ia menyebutkan semua itu adalah agenda politik untuk menjatuhkannya. "Saat itu pemerintah tak punya pilihan, kecuali bertindak tegas. Sebab, unjuk rasa yang diikuti 100 ribu orang sudah tak bisa dikendalikan."