TEMPO.CO, Jakarta - Gempa berkekuatan 7,9 Skala Richter di Nepal pada Sabtu, 25 April 2015 pukul 11.56 seperti mimpi buruk. Penduduk kaget, panik, dan ketakutan merasakan guncangan hebat pada siang bolong itu. Megharaj Adhikari meneteskan air mata menyaksikan negerinya luluh lantak hanya dalam waktu singkat.
Tempo yang menghubungi Megharaj via Facebook menerima penjelasan tentang apa yang terjadi di negaranya pada Sabtu malam itu. Megharaj mengirimkan surat berjudul “Gempa Mematikan di Kathmandu dan Konfigurasinya” ke Tempo. Dalam surat itu, Megharaj menuturkan pengalamannya menghadapi bencana dahsyat yang merenggut ribuan orang itu. Berikut ini bagian kedua surat Megharaj, pengajar di Universitas Thribhuvan, Kathmandu, Nepal, itu.
Kabar buruk kedua adalah kehancuran lapangan Bashantapur Durbar yang membuat saya benar-benar menangis karena makalah saya dulu mengenai lapangan Durbar. Makalah saya itu bertajuk “Bashantapur Vicinity: Configuration of Space, Time and Modern Sensibility. “Bagaimana mungkin ini sebuah kebetulan?, tanya guru saya Profesor Subedi. Saya tidak dapat menjawab pertanyaannya. Saya hanya diam karena itu lahan penelitian favorit saya mengenai ruang heterotopik, ruang yang menandai transisi abad pertengahan ke abad modern Nepal.
Ini sebuah peralihan dinamis yang dilakukan pada tahun 1768-1769 dengan penaklukan Nepali Shah terhadap lembah Kathmandu dan perebutan kekuasaan secara politik untuk menguasai lembah Kathmandu dari dinasti etnis Malla. Guru saya Dr Rijal berusaha menelepon istrinya ketika kabar ketiga datang, menyebut tujuh bangunan bertingkat di Kapan, di sudut utara Kathmandu, rubuh dan menewaskan lebih dari 80 orang di tempat itu. Satu hal yang dapat kami lakukan hanya menatap langit dan dewa. Teror gempa sekuat lebih dari 4,5 Skala Richter terus berlanjut mengaduk¬aduk kami.
Saudara saya seorang musikus Salil, yang tadi mempresentasikan makalahnya bertajuk “Nepali Folk Musicand its Fusion” mengeluarkan iPadnya dan mulai merekam orang-orang yang panik. Mengerikan, kami tetap duduk di tanah. Ucapan orang-orang tentang bumi runtuh membuat kami semakin rapuh. Namun apa lagi yang diharapkan kecuali duduk di tanah dan menunggu? Bukan aman jika pulang ke rumah, tapi malah lebih berbahaya, sementara tempat terbuka bukan tempat yang diinginkan. Listrik padam dan telepon seluler kehabisan baterai.
Satu hal melegakan yang kami temukan adalah ketika peralatan eksternal (data card) menghubungkan kami ke Internet dan jadi tahu lebih banyak tentang situasi di luar kota. Mungkin saya orang pertama ketika Facebook mengirimkan aplikasi bertanda “safe” dengan memuat pesan “ Nepal Earthquake Facebook check.” Saat saya menulis kisah ini, notifikasi sudah menunjukkan 826 orang selamat di daftar saya. Jadi saya yakin hampir semua teman saya di Kathmandu selamat.
MARIA RITA