TEMPO.CO, Jakarta - Calon presiden nomor urut 02 Prabowo Subianto dan pasangannya Gibran Rakabuming Raka unggul dalam pemilihan presiden atau pilpres 2024 versi real count Komisi Pemilihan Umum yang sudah mencapai 73,5 persen penghitungan suara hingga hari ini, Rabu, 21 Februari 2024. Data di website KPU, Prabowo-Gibran meraup suara 58,77 persen. Ia unggul di atas dua pesaingnya pasangan Anies Baswedan - Muhaimin Iskandar dengan 24,24 persen dari Ganjar Pranowo - Mahfud MD degan 16,99 persen suara.
Meski belum diumumkan, Prabowo sudah memberi pidato kemenangan. Bekas jenderal Angkatan Darat berusia 72 tahun ini pernah dilarang masuk Amerika Serikat karena dugaan pelanggaran hak asasi manusia. “Tujuan paling penting dari demokrasi adalah memberikan rakyat pemimpin dan wakil yang mereka inginkan,” kata Prabowo. “Saya berharap semua pihak memahami tujuan yang lebih besar.”
Prabowo telah menampilkan dirinya sebagai sekutu setia Presiden Joko Widodo. Ia menjabat sebagai menteri pertahanan selama lima tahun terakhir. Sebagian besar kampanye pemilunya pada 2024 berfokus pada kelanjutan proyek dan meneruskan kebijakan Jokowi.
Namun menurut sejumlah pengamat politik yang dilansir dari CNN, Jokowi dan Prabowo amat berbeda arah politik dan kepribadian.
Tom Pepinsky, profesor pemerintahan dan direktur Program Asia Tenggara di Cornell University, mengungkapkan ketika Jokowi memenangkan pemilu pada 2014, ia disamakan dengan Barack Obama yang mengambil platform perubahan. Jokowi menjadi presiden terpilih pertama dalam sejarah Indonesia yang tidak memiliki ikatan dengan elit politik atau militer.
Sementara Prabowo, yang dikenal karena pidatonya yang berapi-api, latar belakang militer, dan masa lalunya yang agresif, akan menjadi presiden yang sangat berbeda. Dia jauh lebih blak-blakan dan konfrontatif dibandingkan Jokowi yang dikenal karena sikapnya yang tenang dan damai.
“Prabowo memiliki reputasi di militer karena suka berperang dan mudah marah,” kata Pepinsky. “Meskipun ia mungkin tidak memiliki sifat kasar atau kurang ajar seperti (eks presiden Filipina) Rodrigo Duterte, atau Donald Trump, politiknya menggantikan kepedulian terhadap hukum dan ketertiban.”