TEMPO.CO, Jakarta -Pejabat tinggi HAM PBB mengingatkan Sri Lanka untuk tidak melupakan masalah hak asasi manusia, meski masih didera krisis ekonomi terburuk sejak merdeka.
Sri Lanka juga diharapkan memperkuat lembaga-lembaga negaranya untuk mengatasi tantangan kemanusiaan yang muncul dari krisis keuangan terburuk dalam tujuh dekade.
Penjabat Komisaris Tinggi PBB untuk HAM Nada Al-Nashif menyatakan bahwa negara-negara anggota PBB dan lembaga keuangan internasional harus mendukung Sri Lanka untuk membantu jutaan rakyat yang berjuang dengan kekurangan makanan, bahan bakar, listrik dan obat-obatan.
"Reformasi kelembagaan, demokrasi dan sektor keamanan diperlukan untuk memulihkan independensi lembaga-lembaga kunci, untuk memerangi impunitas, untuk mencegah terulangnya pelanggaran HAM dan untuk mengatasi krisis ekonomi," kata Al-Nashif dalam Sidang ke-51 Dewan Hak Asasi Manusia di Jenewa, dilansir Reuters, Senin 12 September 2022.
Al-Nashi juga mendesak pemerintah baru Sri Lanka untuk mengakhiri penggunaan undang-undang keamanan untuk menangkap para pemimpin protes yang membantu menggulingkan mantan Presiden Gotabaya Rajapaksa pada Juli. Sri Lanka saat ini dipimpin oleh Presiden Ranil Wickremesinghe.
Menteri Luar Negeri Sri Lanka Ali Sabry pada pertemuan yang sama mengatakan bahwa pemerintah berkomitmen untuk bekerja dengan Kantor Komisaris Tinggi Hak Asasi Manusia (OHCHR) untuk mengefektifkan penerapan hak asasi manusia.
Kendati demikian, dia menekankan akan menolak intervensi peradilan internasional yang dianggap anti-konstitusional.
Al-Nashif menambahkan bahwa Sri Lanka harus membuat lebih banyak kemajuan menuju pembentukan penyelidikan yang kredibel terhadap dugaan kejahatan perang selama perang saudara yang berakhir pada 2009. Di samping itu, Sri Lanka disarankan melakukan demiliterisasi di wilayah utara dan timur pulau itu.
PBB dan kelompok hak asasi menuduh militer Sri Lanka membunuh ribuan warga sipil, sebagian besar etnis Tamil, selama minggu-minggu terakhir perang dan telah mendesak keadilan bagi keluarga mereka yang hilang.
Pada 2021, OHCHR meluncurkan 'proyek akuntabilitas' baru yang suatu hari nanti dapat digunakan sebagai bagian dari proses peradilan internasional yang potensial.