Damiba pada Desember lalu diangkat Kabore menjadi komandan wilayah militer ketiga Burkina Faso, yang dipandang sebagai upaya presiden mencari dukungan di dalam tentara.
Penunjukan posisi strategis itu menyusul serangan separatis terhadap pos militer di kota utara Inata yang menewaskan 49 tentara dan empat warga sipil.
Berbeda dengan Kabore, yang disalahkan oleh tentara atas meningkatnya kekerasan pemberontak, Damiba telah berusaha menampilkan dirinya sebagai ahli dalam melawan terorisme.
Pada bulan Juni, ia menerbitkan buku berjudul West African Armies and Terrorism: Uncertain Responses? di mana ia menganalisis strategi anti-terorisme di wilayah Sahel.
Dari 1987 hingga 2011, ia adalah bagian dari Resimen Keamanan Presiden mantan presiden Blaise Compaore, yang digulingkan pada 2014 setelah ratusan ribu orang turun ke jalan sebagai protes atas rencana perpanjangan kekuasaannya.
Unit tersebut kemudian dibubarkan oleh pemerintah transisi, sebuah langkah yang menimbulkan kemarahan di antara beberapa perwira.
Menurut surat kabar L'Observateur, Damiba mundur dari RPS pada 2011 menyusul gelombang protes dan pemberontakan tentara.
Ia kemudian ditempatkan di kota timur laut Dori sebagai Komandan Resimen Komando Infanteri (RIC) ke-11 dan ke kota utara Ouahigouya sebagai Komandan RIC ke-12.
Pada tahun 2015, Damiba dan petugas lainnya mengambil bagian dalam upaya kudeta yang secara singkat menggulingkan pemerintah transisi.
Setelah peristiwa 2015, Damiba meninggalkan negara itu untuk melanjutkan studi militer lebih lanjut.
Sekembalinya, ia memimpin RCAS ke-30, sebuah resimen yang bertugas mendukung strategi kontraterorisme Burkina Faso.
Damiba mendapatkan popularitas atas tindakannya selama pemberontakan kelompok afiliasi Al-Qaeda. Dia pernah meminta pemerintah merekrut tentara bayaran dari Grup Wagner Rusia melawan pemberontak, namun ditolak karena akan mengasingkan Burkina Faso dari Barat.
REUTERS | ALJAZEERA