Kekerasan Terhadap Rohingya Sudah Diramalkan Sejak 1940  

Reporter

Senin, 4 September 2017 13:07 WIB

Seorang wanita muslim Rohingya memasak makanan di tempat penampungan darurat di Kutupalang dekat Cox Bazar, Bangladesh, 3 September 2017. REUTERS/Mohammad Ponir Hossain

TEMPO.CO, Yangoon - Kekerasan sektarian yang menimpa warga minoritas Rohingya di Myanmar telah sejak lama dikhawatirkan oleh seorang staf kolonial Inggris.

John Furnivall, pada 1940-an telah meramalkan bahwa konsep kemajemukan yang dibawa oleh bangsa Eropa di Asia akan menjadi malapetaka di kemudian hari.

Kerajaan Inggris dan Belanda yang berkuasa di Asia datang dengan konsep kemajemukan terutama di Myanmar-atau Burma, seperti saat Furnivall tinggal dan bekerja di sana.

Furnivall adalah administrator pada 1902 dan menikahi orang Burma setempat. Meskipun dia meninggalkan koloni tersebut pada 1931, dia kembali pada 1948 untuk memberi saran kepada pemerintah pasca-kemerdekaan pertama.


Baca: Bisnis Migas di Myanmar Jadi Salah Satu Pemicu Konflik Rohingya?



Deskripsi asli Furnivall tentang masyarakat majemuk sangat berbeda dengan cara "pluralisme" telah dipahami di Barat.

Alih-alih merujuk dengan menyetujui perbedaan etnis yang memilih secara bebas untuk hidup bersama, Furnivall menciptakan istilah tersebut untuk mengkritik pengenaan ras imigran pada masyarakat adat atas nama perdagangan bebas.

Hal ini terjadi paling jelas pada abad ke-19 di pelabuhan-pelabuhan kekaisaran Inggris dan Belanda, di kota-kota pesisir seperti Akyab (sekarang Sittwe) dan Rangoon (Yangon) di Burma, di Penang dan Singapura di Straits Settlements, dan di Batavia ( sekarang Jakarta) di pulau jawa, ibu kota Hindia Belanda.

Akhirnya, pemerintahan kolonial yang lebih formal diperluas dengan melakukan penaklukan terhadap orang asli atau warga lokal di tempat-tempat ini.

Sebagian besar, imigran, yang seringkali miskin, yang masuk ke wilayah-wilayah ini oleh bangsa Eropa adalah orang Tionghoa. Tapi terdapat jutaan warga Asia Selatan, kebanyakan dari mereka Muslim, bermigrasi juga, terutama ke Burma, yang kemudian dikelola oleh Inggris.

Para imigran sering dijadikan sebagai tenaga kerja buruh di tambang tembaga dan perkebunan karet. Tapi mereka juga berkontribusi pada semangat kewirausahaan dan hubungan perdagangan yang membantu menciptakan kekayaan dan vitalitas para pengusaha kolonial seperti di Rangoon dan Singapura.

Rangoon adalah kota yang dihuni mayoritas etnis India yang dibawa oleh Inggris pada 1920-an. Penyair Cile, Pablo Neruda, yang berada di konsul Inggris di sana saat itu, menggambarkan Rangoon sebagai "kota darah, mimpi dan emas".



Baca: Rohingya Angkat Senjata, Ribuan Warga Lari dan Dievakuasi

Tapi seperti yang Furnivall lihat, kekayaan itu sebagian besar terjadi dengan mengorbankan orang asli Burma, orang-orang Melayu di Malaysia, orang Jawa di Jawa dan sebagainya. Memang, banyak kelompok seperti itu merasa diliputi oleh orang asing yang berada di bawah perlindungan kolonial.

Menurut Furnivall perlindungan terhadap kaum imigran akan hilang ketika kolonial sudah tidak ada lagi di tempat-tempat tersebut. Sehingga akan memicu peristiwa berdarah di kemudian hari.

"Seluruh masyarakat kambuh menjadi anarki begitu kekuatan kolonial telah berlalu," kata Furnivall pada saat itu, seperti yang dilansir The Economist.

Dan, apa yang diramalkannya tersebut terjadi pada saat ini, terutama di Myanmar, dimana etnis Rohingya yang dibawa oleh Inggris pada sekitar abad ke 18, menjadi sasaran kekerasan oleh militer negara.

Masyarakat pasca-kolonial telah berurusan dengan kekhawatiran ini sejak saat itu. Kerusuhan ras di Malaysia dan Singapura pada 1969 mengadu bangsa Melayu dengan orang Cina. Beruntung hal itu segera diatasi.

Sebaliknya, pemerintah militer pasca-kolonial di Myanmar mencoba strategi yang berbeda. Alih-alih merancang cara untuk mengatasi masyarakat majemuk, mereka mencoba membongkarnya.

Junta yang merebut kekuasaan di Burma pada 1962 mengusir ratusan ribu orang India, Cina dan non-Burma lainnya dalam upaya menghancurkan masyarakat majemuk dan menciptakan Burma yang benar-benar homogen.

Di Myanmar barat, warga Rakhine (Budha) sedang menyelesaikan pembersihan etnis yang dimulai pada 1960. Mereka membersihkan apa yang tersisa dari masyarakat majemuk, terutama dari Muslim Bangladesh atau Rohingya.

Kekerasan itu berlangsung hingga kini, bahkan setelah pemerintahan demokratis di bawah kekuasaan Aung San Suu Kyi. Banyak orang asing mengkritik pemenang hadiah Nobel perdamaian karena tidak membela kaum Rohingya di Rakhine. Dia tahu bahwa jika dia berbicara, dia akan kehilangan banyak simpati di kalangan Burma dan meruntuhkan harapannya untuk tetap berkuasa.

THE ECONOMIST | YON DEMA


Advertising
Advertising










Berita terkait

Kelompok Perlawanan Myanmar Klaim Tangkap Ratusan Aggota Junta Militer

16 jam lalu

Kelompok Perlawanan Myanmar Klaim Tangkap Ratusan Aggota Junta Militer

Tentara Arakan atau Arakan Army menyatakan telah menangkap ratusan anggota junta Myanmar.

Baca Selengkapnya

5 Negara Ini Sedang Alami Cuaca Panas Ekstrem, Waspada Saat Mengunjunginya

5 hari lalu

5 Negara Ini Sedang Alami Cuaca Panas Ekstrem, Waspada Saat Mengunjunginya

Sejumlah negara sedang mengalami cuaca panas ekstrem. Mana saja yang sebaiknya tak dikunjungi?

Baca Selengkapnya

Cuaca Panas Ekstrem Melanda Asia, Myanmar Tembus 48,2 Derajat Celcius

6 hari lalu

Cuaca Panas Ekstrem Melanda Asia, Myanmar Tembus 48,2 Derajat Celcius

Asia alamai dampak krisis perubahan iklim. Beberapa negara dilanda cuaca panas ekstrem. Ada yang mencapai 48,2 derajat celcius.

Baca Selengkapnya

Giliran KKP Tangkap Kapal Asing Malaysia yang Menangkap Ikan di Selat Malaka

11 hari lalu

Giliran KKP Tangkap Kapal Asing Malaysia yang Menangkap Ikan di Selat Malaka

KKP meringkus satu kapal ikan asing ilegal berbendera Malaysia saat kedapatan menangkap ikan di Selat Malaka.

Baca Selengkapnya

Perang Saudara Myanmar: Kelompok Perlawanan Tarik Pasukan dari Perbatasan Thailand

13 hari lalu

Perang Saudara Myanmar: Kelompok Perlawanan Tarik Pasukan dari Perbatasan Thailand

Tentara Pembebasan Nasional Karen memutuskan menarik pasukannya dari perbatasan Thailand setelah serangan balasan dari junta Myanmar.

Baca Selengkapnya

Jenderal Myanmar Menghilang Setelah Serangan Pesawat Tak Berawak

13 hari lalu

Jenderal Myanmar Menghilang Setelah Serangan Pesawat Tak Berawak

Wakil Ketua Junta Myanmar menghilang setelah serangan drone. Ia kemungkinan terluka.

Baca Selengkapnya

Ribuan Warga Rohingya Berlindung ke Perbatasan Myanmar-Bangladesh

16 hari lalu

Ribuan Warga Rohingya Berlindung ke Perbatasan Myanmar-Bangladesh

Ribuan warga etnis Rohingya yang mengungsi akibat konflik di Myanmar, berkumpul di perbatasan Myanmar-Bangladesh untuk mencari perlindungan

Baca Selengkapnya

Aktivis HAM Myanmar Dicalonkan Nobel Perdamaian 2024: Penghargaan Ini Tidak Sempurna

16 hari lalu

Aktivis HAM Myanmar Dicalonkan Nobel Perdamaian 2024: Penghargaan Ini Tidak Sempurna

Maung Zarni, aktivis hak asasi manusia dan pakar genosida asal Myanmar, dinominasikan Hadiah Nobel Perdamaian 2024, oleh penerima Nobel tahun 1976

Baca Selengkapnya

Pertempuran di Perbatasan Myanmar-Thailand, Pemberontak Targetkan Pasukan Junta

17 hari lalu

Pertempuran di Perbatasan Myanmar-Thailand, Pemberontak Targetkan Pasukan Junta

Pertempuran berkobar di perbatasan timur Myanmar dengan Thailand memaksa sekitar 200 warga sipil melarikan diri.

Baca Selengkapnya

Top 3 Dunia: Iran Siap Hadapi Israel, Sejarah Kudeta di Myanmar

18 hari lalu

Top 3 Dunia: Iran Siap Hadapi Israel, Sejarah Kudeta di Myanmar

Top 3 dunia adalah Iran siap menghadapi serangan Israel, sejarah kudeta di Myanmar hingga Netanyahu mengancam.

Baca Selengkapnya