Sejumlah warga melihat longsor yang diakibatkan oleh hujan lebat di kota Regent, Sierra Leone, 14 Agustus 2017. REUTERS/Ernest Henry
TEMPO.CO, Freetown - Pemerintah Sierra Leone dibantu tim SAR dan warga masyarakat mulai melakukan penguburan massal terhadap ratusan korban tanah longsor di Ibu Kota Freetown, Rabu, 16 Agustus 2017.
Salah satu bencana alam terburuk di Afrika yang terjadi pada Senin malam, 14 Agustus 2017, waktu setempat itu menurut sejumlah laporan mengakibatkan sedikitnya 300 orang tewas. Sebagian terkubur hidup-hidup ketika insiden itu terjadi. Selain memakan korban jiwa, peristiwa tersebut juga menghancurkan ratusan rumah warga.
Hingga saat ini, tim SAR dibantu anggota masyarakat menggunakan alat berat terus mencari korban tanah longsor. Sebagian warga juga antri mengindetifikasi keluarganya yang tewas tertimpa tanah.
"Kami harus segera menguburkan mereka untuk menghindari kolera merebak, sebab banyak sekali mayat diletakkan di ruang terbuka," kata relawan bencana.
Palang Merah setempat memperkirakan bencana yang terjadi malam hari di saat warga masyarakat sedang terlelap tidur itu menyebabkan sedikitnya 600 orang hilang dan ribuan warga kehilangan tempat tinggal.
"Jumlah korban tewas hingga Rabu mencapai 400 orang," tulis Deutsche Welle.
Wali Kota Freetown, Seneh Duumbuya, mengatakan kepada kantor berita Reuters, pihaknya segera menguburkan 297 jenazah secara massal bersama korban tewas akibat virus ebola di dekat Waterloo.
"Kami tidak bisa menunggu hingga besok (Kamis) karena mayat sudah mulai membusuk. Pemakaman ini kemungkinan hingga malam hari," ujar Dumbuya.
Dumbuya menambahkan, sejauh ini sudah 400 mayat ditemukan kemungkinan jumlah tersebut bisa bertambah hingga 500 orang karena pencarian terus dilanjutkan.
Presiden Sierra Leone, Ernest Bai Koroma, mengatakan kepada media pada acara jumpa pers Selasa, 13 Agustus 2017, dengan mata bekaca-kaca, bahwa peristiwa banjir dan tanah longsor ini menjadi tantangan luar biasa bagi kemanusiaan. Untuk itu dia meminta bantuan kepada semua pihak.