Sejumlah anak-anak muslim Rohingya mengikuti mambaca Al Quran di ruangan terbuka di kamp pengungsian Kutupalang, Cox's Bazar, Bangladesh, February 4, 2017. Lebih dari 1.1 juta muslim Rohingya mengalami hidup memprihatinkan, karena umat Buddha Myanmar menganggap mereka sebagai imigran ilegal. REUTERS/Mohammad Ponir Hossain
TEMPO.CO, SITTWE—Pengadilan Myanmar menghukum mati seorang pria Rohingya yang disebut terbukti bersalah memimpin penyerangan terhadap pos polisi perbatasan pada Oktober lalu.
Seperti dilaporkan Sydney Morning Herald, Selasa 14 Februari 2017, kepala kepolisian Sittwe Yan Naing Lett mengatakan pengadilan di ibu kota Negara Bagian Rakhine itu memvonis Mamahdnu Aka Aula pada Jumat pekan lalu.
“Dia dihukum mati karena terbukti melakukan pembunuhan berencana di pos perbatasan Kotankauk,” kata Yan seperti dikutip Channel Newsasia, Senin lalu.
Mamahdnu Aka Aula, menurut Yan, memimpin dan merencanakan serangan ke pos polisi perbatasan bersama 13 warga Rohingya lainnya. “Ke-13 orang itu telah disidangkan tapi belum dijatuhi hukuman,” ujar Yan.
Pemerintah Myanmar menyebut ratusan milisi Rohingya menyerbu tiga pos polisi perbatasan dengan Bangladesh pada 9 Oktober lalu. Serangan ini menewaskan sembilan polisi.
The International Crisis Group menyebut para pelaku didukung oleh kelompok asal Arab Saudi,Harakah al-Yaqin, yang selama beberapa tahun terakhir merekrut dan melatih milisi dari Bangladesh dan utara Rakhine.
Serangan terhadap polisi oleh warga Rohingya, menurut Aparupa Bhattacherjee, peneliti Asia Tenggara untuk National institute of Advanced Studies di Bangalore, adalah hal yang sangat mungkin terjadi ketika, “Generasi muda Rohingya tidak melihat solusi damai dan politik. Mereka sangat siap untuk berjuang membela hak-hak mereka.”
Putusan ini berselang beberapa hari setelah Perserikatan Bangsa-Bangsa mengeluarkan laporan tentang kebrutalan tentara dan militer Myanmar yang melakukan pembunuhan, penyiksaan hingga perkosaan terhadap warga Muslim Rohingya.
Dalam laporan itu, pejabat PBBB menyebut sedikitnya seribu orang diprediksi tewas dibunuh sementara lebih dari 80 ribu warga Rohingya lain melarikan diri ke Bangladesh sejak militer menggelar operasi untuk mencari milisi Rohingya.
Berdasar wawancara terhadap ratusan korban dan saksi mata di kamp pengungsian Bangaldesh, PBB menyimpulkan militer Myanmar telah melakukan kebijakan teror sistematis yang masuk dalam genosida terhadap warga Rohingya.
Kekerasan tersebut memicu kritik baru dari dunia internasional yang menyebut pemimpin Myanmar Aung San Suu Kyi hanya sedikit sekali membantu anggota moniritas muslim itu.
Rohingnya menghadapi perlakuan diskriminatif dari pemerintah Myanmar selama beberapa generasi. Mereka tidak diklasifikasikan sebagai warga negara dan malah dianggap sebagai pendatang haram dari Bangladesh dengan hak sangat terbatas.
Sekitar 1,1 juta muslim Rohingya hidup seperti dalam situasi serupa apartheid di wilayah barat laut Myanmar.
SYDNEY MORNING HERALD | CHANNEL NEWSASIA | SITA PLANASARI AQUADINI