TEMPO Interaktif, Beirut: Libanon memutuskan berhenti jadi pengecut, setelah membiarkan Israel seenaknya selama 28 hari. Selasa (8/8) lalu Beirut menyiagakan 15 ribu tentara untuk dikirim ke ladang pembantaian Israel di perbatasan selatan. Keputusan itu diambil seusai rapat kabinet, yang dihadiri dua menteri Hizbullah. "Pasukan siap ditempatkan. Ini bukan omong kosong!" kata Menteri Penerangan Libanon Ghazi Aridi. Ini bukan tantangan perang kepada Israel. Sebaliknya, fungsi tentara Libanon adalah menjadi pagar untuk membuat roket jarak pendek Hizbullah--terutama Katyusha 107 mm dan 122 mm--tak dapat menjangkau Israel. "Ini jawaban pemerintah Beirut atas permintaan komunitas internasional agar kawasan selatan dijaga pasukan Libanon," ujarnya. "Ini bentuk komitmen kami agar gencatan senjata segera terwujud." Untuk itu, pemerintah Libanon meminta Tel Aviv segera menarik semua armada perangnya dari sana. Israel menampik permintaan Libanon dan terus membombardir sasaran yang diduga jadi kandang Hizbullah sepanjang hari kemarin. Negeri Yahudi itu berkeras serdadunya tetap di selatan sampai serangan roket Hizbullah dapat dihentikan. Di markas Perserikatan Bangsa-Bangsa upaya mencapai mufakat atas resolusi gencatan senjata menemui jalan buntu. Libanon yang didukung Liga Arab menolak draf resolusi itu, karena isinya hanya menguntungkan Israel. Dalam draf itu dinyatakan, Israel tetap diizinkan bercokol di selatan sampai pasukan PBB tiba. "Draf itu jelas menghalangi upaya gencatan senjata!" kata Perdana Menteri Fuad Siniora kepada pers, setelah bertemu dengan 20 menteri luar negeri Liga Arab di Beirut kemarin. "Kami ingin gencatan senjata permanen dan total!" Atas penolakan Libanon, Menteri Pertahanan Israel Amir Peretz mengancam akan memperluas serangan darat ke wilayah Libanon. "Bila tak ada titik temu dalam beberapa hari ke depan, saya perintahkan pasukan Israel menggelar operasi darat untuk menutup lokasi peluncuran roket Katyusha," ujarnya di depan parlemen Israel. "Itu bakal merupakan babak paling ganas dalam peperangan ini," dia mengancam. Tapi Perdana Menteri Ehud Olmert bersikap lebih diplomatis. Tel Aviv, kata dia, akan mempelajari semua tawaran itu. "Kami akan lihat seberapa realistis tawaran tersebut," ujar Olmert sembari menambahkan, keputusan akan resolusi itu bakal keluar hari ini. "Kami senang bila bisa secepatnya keluar dari Libanon. Tapi itu belum akan terlaksana apabila target kami (memukul mundur Hizbullah dari selatan Libanon) belum tercapai," ujarnya. Di Kuala Lumpur, Menteri Luar Negeri Malaysia Syed Hamid Jabar kemarin meminta negara anggota Organisasi Konferensi Islam untuk mengirimkan suplai senjata ke Hizbullah. Ia juga meminta OKI menentang upaya aneksasi Israel di selatan Libanon. AP | AFP | BBC | JERUSALEMPOST | NYTIMES | ANDREE PRIYANTO